Oleh: Mahladi Murni, anggota Komisi Infokom MUI
Cara, metode, dan media berdakwah dulu dan kini berbeda. Dulu, para dai berdakwah dari satu mimbar ke mimbar yang lain, dari satu taklim ke taklim yang lain, atau bahkan dari satu rumah ke rumah yang lain.
Dulu, pada setiap momen dakwah, para juru dakwah masih bisa bertatap muka dengan jamaahnya, tertawa bersama, atau menyantap sajian bersama. Para jamaah juga masih bisa mencium tangan para juru dakwah yang mereka hormati.
Sekarang, ketika teknologi informasi sudah berkembang begitu pesat, cara berdakwah pun menjadi lebih sederhana. Para juru dakwah tidak perlu lagi harus bertatap muka langsung dengan jamaahnya. Mereka berceramah di depan kamera, sedang jamaahnya menonton di rumahnya masing-masing. Juga di depan kamera.
Para juru dakwah tak perlu lagi capai berpergian ke luar kota untuk menemui jamaahnya dan jamaah pun sama. Mereka berada di tempat masing-masing. Hanya pesan berupa materi digital yang bergerak di udara yang tak terlihat.
Cara berdakwah yang tersederhanakan seperti ini tentu ada dampak positifnya. Selain lebih massif, jangkauan lebih luas, pilihan lebih banyak, juga lebih hemat. Biaya paket internet saat ini sudah sangat murah. Masyarakat kelas ekonomi apa pun sudah bisa menjangkaunya.
Namun, cara berdakwah seperti ini, bukan sepi persoalan alias juga memiliki dampak negatif. Peluang orang-orang jahat melakukan manipulasi konten terbuka lebar. Mereka bisa memotong, menghilangkan, mengganti, atau menyatukan beberapa konten, baik video, gambar, maupun teks, untuk tujuan yang tidak baik.
Untuk tindakan kejahatan seperti ini, jelas sulit kita hindari. Sebab, setiap kali kita menemukan cara untuk mencegahnya, pada saat yang sama, mereka juga akan menemukan cara lain untuk memuluskan kejahatannya. Jadi, kita serahkan saja kepada aparat untuk menindak pelaku kejahatan seperti ini sesuai undang-undang yang berlaku. Mudah-mudahan mereka jera.
Namun, ada pula dampak negatif yang tak disadari oleh pelakunya. Misalnya, seseorang mendengar sebuah ceramah yang disampaikan seorang juru dakwah di sebuah masjid. Orang tersebut merasa isi ceramah itu menarik. Lalu, diam-diam ia merekamnya dan mempublikasikannya di media sosial.
Pertanyaannya, apakah isi ceramah yang disampaikan sang juru dakwah di dalam masjid tersebut juga cocok didengar masyarakat di luar masjid? Boleh jadi ternyata tidak cocok. Bahkan bisa menjadi salah kaprah bila didengar masyarakat yang berbeda kelompok dengan sang penceramah, atau berbeda budaya dengan jamaah di masjid tersebut, atau didengar orang yang tak mampu mencerna isi ceramanya dengan baik.
Ibnu Mas’ûd pernah berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, “Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka.” Ali bin Abi Thalib RA juga berkata, “Berikanlah kabar kepada manusia sesuai dengan takaran pemahamnnya.”
Seorang juru dakwah, manakala diminta berceramah di sebuah masjid, tentu akan bertanya terlebih dahulu siapa jamaah di masjid tersebut. Ia tak ingin menimbulkan fitnah bila materi dakwahnya didengar oleh orang yang tidak tepat. Ia ingin menyesuaikan dengan keadaan jamaah di masjid tersebut.
Namun, ketika teknologi internet telah membuka dinding masjid seluas-luasnya hingga semua orang bisa mendengar dan melihat sang juru dakwah, maka potensi fitnah akan membesar. Inilah risiko yang sulit dihindari dari perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat sekarang ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya sudah berupaya meminimalkan dampak negatif seperti ini. MUI telah mengeluarkan fatwa bernomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Di antara isi fatwa tersebut berbunyi, “Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk menyebarkan konten yang benar tapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.”
Fatwa tersebut juga menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan masyarakat dalam menyikapi konten yang berasal dari media sosial. Masyarakat harus menyadarai bahwa konten tersebut memiliki kemungkinan benar, juga kemungkinan salah.
“Konten yang baik belum tentu benar. Konten yang benar, belum tentu bermanfaat. Dan, konten yang bermanfaat, belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik,” tulis fatwa yang dikeluarkan pada 13 Mei 2017 tersebut.
Intinya, menurut fatwa tersebut, tidak semua konten atau informasi yang benar boleh dan pantas disebar ke ranah publik. Perkembangan teknologi internet adalah keniscayaan. Kita tak bisa mengelak darinya. Yang bisa kita harapkan adalah kedewasaan masyarakat menyikapi perkembangan teknologi tersebut.
Mudah-mudahan masyarakat Indonesia paham dan sadar akan pentingnya melaksanakan fatwa ini sehingga para juru dakwah tak lagi khawatir akan salah kaprah dalam berdakwah.