Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini sudah semakin pesat saja. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK memang sangatlah menggiurkan, terutama kemudahan dalam melakukan komunikasi. Salah satu contohnya adalah dengan hadirnya media sosial. Media sosial memang sudah semakin pesat berkembang saat ini, mengingat peran teknologi seperti sudah tidak dapat dilepaskan dari setiap aktivitas yang dilakukan manusia.
Dari awalnya yang hanya berkirim kabar melalui surat, harus menunggu selama berhari-hari untuk bisa mendapatkan jawaban ataupun balasan. Kini kita bisa memberitahukan kabar kepada siapapun kapan saja, di mana saja, hanya dengan menggunakan media sosial sebagai perantaranya. Tak hanya itu, jawaban atau balasan pesan kita pun dapat diterima saat itu juga.
Akan tetapi beberapa oknum melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan hal tercela. Oknum-oknum ini menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan hoax dan berita bohong. Apalagi di masa pandemi ini, ketika orang-orang panik karena adanya Covid-19 ini, hoax dan berita palsu terkait covid semakin marak dan menyebar.
Apalagi saat ini kita berada di era disrupsi informasi yang menyebabkan semakin banyak orang yang mudah terkoneksi dengan internet untuk mendapatkan sebuah informasi. Karena kemudahan akses inilah yang menyebabkan masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi. Semua hal dapat diketahui dengan mudah bahkan hanya dengan mengandalkan smartphone dan jaringan internet.
Di sinilah oknum tertentu menemukan sebuah celah untuk kemudian memanfaatkan hal ini sebagai peluang agar bisa menyebarkan informasi hoax dan berita bohong. Hoax selama pandemi merjalela di mana-mana, di Facebook, Instagram, portal berita online, bahkan di group Whatsapp keluarga.
Contohnya saja baru-baru ini beredar pesan di WhatsApp yang berisi narasi pemenang nobel yang menyebutkan bahwa jika seseorang sudah divaksin dua kali, maka jangka waktu orang tersebut hanyalah selama dua tahun karena dikatakan akan meninggal dunia setelah jangka dua tahun itu habis. Padahal setelah ditelusuri ternyata itu adalah hoax dan termasuk missleading content, yaitu konten yang dibuat secara sengaja dan diharap mampu menggiring opini sesuai dengan kehendak pembuat informasi.
Konten-konten hoax memang meresahkan. Membanjiri beragam platform media sosial. Bahkan hingga hari ini, Jumat (30/7), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat setidaknya sekitar 1819 konten hoax terkait Covid-19 yang tersebar, serta ada sekitar 1897 konten hoax terkait vaksin yang tersebar di berbagai platform digital seperti Facebook, Instagram, Twiter, Youtube, dan Tiktok.
Ironisnya di saat yang sama, begitu mudahnya orang-orang menyebarkan dan memperoleh berita hoax, karena seharusnya sebagai umat Muslim, kita bisa lebih bijak dalam mengelola informasi di era banjir informasi seperti sekarang ini. Kita harus bisa menelaah mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Tidak langsung melahapnya begitu saja.
Kita harus mencari keabsahan berita dan informasi yang kita peroleh. Apakah berita itu benar atau salah, atau sumbernya jelaskah? Atau dengan mencari sumber lain yang memuat informasi terkait sampai benar benar yakin bahwa berita yang kita baca adalah benar adanya dan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Jika tidak yakin, kita tidak boleh langsung menyebarkan informasi tersebut.
Karena sudah jelas, dalam pandangan Islam, seorang Muslim dilarang Allah SWT berbohong atau berdusta. Larangan berkata dusta dan melakukan kebohongan telah disampaikan dalam Alquran dan hadits.
اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja. Padahal itu di sisi Allah adalah besar.” (QS An-Nur: 15).
Kemajuan teknologi, termasuk media sosial membuat orang bisa menyebarkan berbagai macam hal, tak terkecuali menyebarkan sesuatu yang bahkan tidak dia ketahui kebenarannya sedikit pun. Maka dari itu perlu ditanamkan pemahaman bahwa segala yang kita lakukan di dunia maya akan dipertanggungjawabkan. Apalagi jika menyebarkan hal yang salah terkait Covid-19, orang orang yang sedang panik akan mudah percaya dengan apapun yang mereka temukan dan mereka baca, walaupun hanya dari media sosial.
Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Fatwa Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Salah satu isi di dalam fatwa tersebut adalah larangan melakukan sebuah kegiatan yang dapat memproduksi, menyebarkan dan-atau membuat orang-orang bisa mengakses konten maupun informasi yang tidak benar.
Fatwa MUI tersebut menyebutkan, setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan aktivitas akun di media sosial yang menyediakan informasi berisi hoaks, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.
Maka dari itu, seharusnya kita harus bisa memfilter berita dan informasi mana yang bisa kita percayai, lihat sumbernya apakah jelas atau tidak. Konfirmasi juga apakah berita itu benar atau tidak, tidak semua berita yang didapatkan dipercayai begitu saja. Apalagi jika sampai kita sebarkan juga padahal sumber informasi itu tidak jelas asalnya darimana. Di saat pandemi sekarang apalagi, jika hoax menyebar terus menerus, kepanikan malah akan makin bertambah dan memengaruhi pikiran pembacanya. Sebab itulah, salah satu pesan penting dalam fatwa tersebut adalah pentingnya kita bertabayun terlebih dahulu ketika mendapatkan sebuah informasi. Hal ini sejalan dengan semangat firman Allah SWT berikut ini:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat: 6)
Fatwa tersebut juga dikeluarkan atas dasar beberapa hadist, salah satu hadits terkait berita bohong ini yaitu hadits Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan jujur dan melarang berbohong, sebagaimana sabdanya:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً, وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً. (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim)
Untuk itu, dalam rangka menghindari agar hoax tidak semakin marak dan menyebar, harus dimulai dari kita sendiri. Pastikan sumber beritanya, jangan langsung percaya dan menyebarkannya begitu saja, karena itu berarti kita ikut berbohong dan menyebarkan berita yang tidak benar, karena itu artinya kita melakukan sesuatu yang dilarang Allah dan dapat mendatangkan perbuatan dosa. Semoga kita terhindar dari perbuatan dusta dan menyebarkan kedustaan. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (Muhamad Saepudin/ Nashih)