Oleh : Mujahidin Nur, Anggota Komisi INFOKOM, MUI. Direktur The Islah Centre, Jakarta.
Tasiman sama sekali tidak menyangka kalau ia dan keluarganya akan terinfeksi Covid-19. Hasil tes PCR di Puskesmas tempatnya tinggal menunjukkan bahwa ia positif Covid-19 dengan CT Value 19. Disusul kemudian hasil tes istri dan kedua anaknya yang juga sama-sama positif. Air mata laki-laki tua berusia 60 tahun itu mengembang. Kesedihan tiba-tiba menguasai batinnya. Sebagai petani desa dan buruh kasar di Pantura Indramayu, dalam kondisi sehat saja ia kesulitan mengais rezeki di masa pandemi ini, apalagi ketika ia terinfeksi Covid seperti ini.
Walau Tasiman tergolong masyarakat awam dan berpendidikan rendah, namun Tasiman adalah seorang muslim yang baik. Pasca dinyatakan positif Covid-19 ia berusaha untuk menjalankan fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 mengenai kewajiban bagi mereka yang terinfeksi Covid untuk menjaga dan mengisolasi diri agar tidak menularkan kepada orang lain. Sementara pada saat yang sama ia harus menanggung nafkah anak isterinya sekeluarga. Tasiman memasrahkan semuanya kepada Allah dalam menghadapi ujian hidup yang berat ini. Tasiman yakin Dialah sebaik-baiknya Penjaga.
Di hari kedua pasca hasil tes keluar Tasiman mulai merasakan persendiannya sakit, disertai panas dingin, mual dan muntah serta flu parah. Di hari ketiga pasca PCR saturasi oksigen yang dibawa oleh sel darah merah Tasiman yang berfungsi mengumpulkan oksigen dari paru-paru dan mengirimkannya ke seluruh tubuh turun diangka 35 dari yang seharusnya 95-100 persen. Tasiman mulai merasakan kesulitan bernafas. Tasiman berpikir seandainya ia sudah melakukan vaksin mungkin symptom (gejala) yang dia rasakan tidak seberat ini. Namun sayang, minimnya informasi yang didapat oleh Tasiman terkait program vaksinasi yang digalakan pemerintah membuat Tasiman belum mendapatkannya. Padahal sudah lama sekali ia ingin divaksin sebagai ikhtiar di hadapan Allah dan sebagai upaya preventif agar ia tidak terpapar Covid-19 atau minimal tidak parah ketika terpapar.
Dalam kondisi kritis, melalui hand phone sederhana anaknya, Tasiman berusaha mencari rumah sakit rujukan karena ia merasa memerlukan perawatan medis. Namun tak ada satu pun rumah sakit baik swasta maupun negeri yang kosong, semua rumah sakit sudah penuh. Tak puas ikhtiar melalui telephone, ia mencoba menyewa angkot tetangganya untuk mengantarkan dia ke rumah sakit terdekat, namun sebelum sampai ke rumah sakit Tasiman tidak tertolong lagi. Ia menghembuskan nafas terakhir di dalam mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Tasiman adalah satu dari puluhan ribu penambahan pasien Covid yang menjadi korban keganasan virus Covid yang saat ini trendnya naik di negeri kita. Bahkan angka kenaikan pasien Covid-19 di Indonesia dua hari berturut-turut mencatat kasus harian Covid tertinggi di dunia dengan angka 56.767 kasus. Namun ironisnya, dalam kondisi seperti ini, berdasarkan hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada tanggal 22-25 Juli 2021 dari 1.200 responden di 34 Provinsi, LSI menemukan ada sekira 36 persen masyarakat yang tidak mau divaksin dengan alasan-alasan yang menurut saya sangat tidak bijaksana. Pertama, sebanyak 55.5 persen masyarakat tidak mau divaksin karena takut akan efek samping dari vaksin. Kedua, 25.5 masyarakat tidak mau divaksin karena menganggap vaksin tidak efektif dan Ketiga 19.9 persen masyarakat menganggap tubuh mereka sehat dan tidak membutuhkan vaksin.
Terlepas dari berbagai pandangan masyarakat kenapa mereka tidak mau divaksin sebagaimana hasil survei LSI di atas ada baiknya mereka yang menolak melakukan vaksinasi melihat vaksinasi dalam pandangan agama yang merupakan bentuk ikhtiar yang dilakukan oleh Ulil Amri (pemerintah) untuk menjaga kesehatan dan menyelamatkan masyarakat. Apa yang dilakukan oleh Ulil Amri juga merupakan perwujudan dari perintah Allah dalam surah al-Baqarah : 195 untuk menjauhkan diri kita dari kebinasaan dan surah an-Nissa: 29 mengenai larangangan membunuh diri kita dengan sengaja salah satunya dengan menolak melakukan vaksin di masa pandemi.
Vaksinasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan spesifik di dalam tubuh dan imunitas tubuh terhadap Covid-19. Disamping, vaksin juga merupakan cara pemerintah untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity). Situasi di mana sebagian besar masyarakat terlindung atau kebal terhadap penyakit tertentu sehingga menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect), yaitu turut terlindunginya kelompok masyarakat yang rentan dan bukan merupakan sasaran vaksinasi. Terakhir, pada dasarnya vaksinasi dilakukan bukan sebatas bertujuan untuk memutus mata rantai penularan penyakit dan menghentikan wabah. Vaksinasi bertujuan mengeliminasi bahkan memusnahkan sama sekali penyakit Covid-19. Terkakhir manfaat vaksin adalah mencegah virus Covid-19 menyebar dan bereplikasi yang memungkinkannya bereplikasi dan mungkin lebih kebal terhadap vaksin.
Setiap jenis vaksin apapun namanya Vaksin Merah Putih, Sinovac, Astrazaneca, Moderna, Sinopharm dan Pfizer & BioNTech mempunyai cara kerja yang berbeda-beda dalam melindungi kesehatan penerima vaksin. Tapi secara umum semua jenis vaksin apapun mereknya berfungsi men-suply “memory” sel limfosit-T dan memory sel limfosit-B kedalam tubuh penerima vaksin. Sel limfosit T merupakan sel darah putih yang penting dalam sistem kekebalan dan memainkan peran penting dalam respons imun adaptif. Sel darah putih ini bekerja menyerang sel tubuh yang sudah terpapar virus. Sementara limfosit B berfungsi untuk memproduksi antibodi untuk menyerang bakteri, virus dan racun. Kedua sel ini memahami bagaimana cara melawan apabila virus Covid-19 menginfeksi tubuh kita. Vaksin yang disuntikkan pada tubuh kita membutuhkan waktu beberapa minggu untuk bisa menghasilkan sel limfosit T dan sel limfosit B untuk menghadapi virus yang mungkin akan menginfeksi kita. Karenanya, dalam kasus tertentu ada orang-orang tertentu yang merasakan gejala demam dan lain-lain. Hal ini wajar adanya sebagai tanda bahwa tubuh kita sedang membangun imunitas (building immunity).
Semua jenis vaksin yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat adalah vaksin yang dibuat oleh para ilmuwan berkaliber dunia. Disamping melalui proses riset panjang sebelum mereka (para ilmuwan) terlebih dahulu melakukan penelitian dasar. Dalam penelitian dasar ini baik virus, sel-sel yang terkait dengan virus dan sel-sel yang terinfeksi oleh virus tersebut diteliti. Pasca penelitian dasar, para ilmuwan melakukan uji pra klinis atau dalam istilah populernya dilakukan studi envitro dan envivo. Vaksin yang dibuat diuji terlebih dahulu pada sel untuk kemudian pada hewan untuk mengetahui apakah aman atau tidak apabila diuji cobakan pada manusia. Tahap terakhir sesudah dilakukan uji pra-klinis, baru vaksin tersebut dilakukan uji klinis. Dalam uji klinis dipastikan keamanan dosis pada manusia, menilai farmakokinetik (ilmu yang mempelajari perjalanan obat) dan farmakodinamik (studi tentang efek biokimia dan fisiologis obat) untuk memastikan vaksin tersebut aman bagi manusia.
Vaksin yang sudah melewati lima tahapan dari riset dasar, pra klinis, uji klinis tahap I, tahap II dan tahap III itulah yang saat ini diberikan pemerintah kepada masyarakat. Artinya, vaksin yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat merupakan vaksin yang benar-benar aman dan tidak membahayakan mereka yang menerima vaksin tersebut. Selain alasan kesehatan, vaksin mempunyai landasan mendasar dalam agama. Agama Islam yang menjadi sumber segala kebenaran menaruh perhatian serius pada kesehatan umat (bangsa). Islam secara tegas menganjurkan umatnya mempertahankan kehidupan, melanjutkan keturunan, juga menjaga akal sehat. Banyak ayat al-Quran dan sabda Rasulullah saw yang mengarah pada hal itu, yang tentu saja bisa menjadi pijakan dasar kewajiban mengikuti program vaksinasi yang digalakkan oleh pemerintah.
Hadits sahih riwayat Abdullah bin Abbas ra., misalnya menarasikan sabda Rasulullah saw, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu,” (HR. Ibnu Abi Dunnya, Al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Hadits itu mempunyai makna tersurat bahwa Islam memerintahkan umatnya menjaga hidup dan kesehatan. Kesehatan dan kehidupan adalah dua dimensi yang saling berkelindan satu sama lain dan begitu diperhatikan oleh agama Islam. Ajaran Islam yang memerintahkan umatnya untuk menjaga kesehatan dan menjaga jiwa (hifzh nafs) ini menemukan momentum yang tepat, ketika pandemi covid-19 yang memakan banyak korban nyawa. Dalam rangka menjalankan syariat Islam tersebut, pemerintah mengambil ikhtiar maksimal, yakni melalui kebijakan vaksinasi.
Dalil lain tentang wajibnya mendukung kebijakan vaksinasi dari pemerintah adalah sebuah hadits yang menyebutkan, “Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia; kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi & Ibnu Majah). Urgensi menjaga kesehatan dan kehidupan ini mendorong para fuqaha’ (pakar fikih) membangun prinsip hukum Islam, yang disebut Maqashid al-Syari’ah. Yakni, tujuan-tujuan Islam sebagai perangkat hukum dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Ada lima tujuan hukum Islam, dan dua di antaranya adalah jiwa agar tidak mati dan menjaga keturunan agar terus dapat melanjutkan generasi.
Lebih dari itu, dalam konteks tertentu, upaya menjaga jiwa agar tetap hidup dan sehat harus diutamakan. Adnan Muhammad Umamah mengatakan, lima tujuan dalam Maqashid Syariah tidak dalam satu level, melainkan bertingkat secara hirarkis. Dalam konteks yang mendesak, menjaga manusia tetap hidup harus dikedepankan daripada agama (Adnan Muhammad Umamah, al-Ihkam wa al-Taqrir li Qaidah al-Masyaqqah Tajlib al-Taysir, Beirut: Dar al-Furqan, 2004: 149).
Maksud lebih dikedepankan (muqaddam) di sini berkaitan dengan hukum keringan (rukhshah). Seperti dalam firman Allah swt tentang diharamkannya makan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Dalam kondisi terpaksa karena lapar, misalnya, ada rukhshah atau keringan melanggar larangan itu (Qs. al-Maidah: 3). Dari sinilah prinsip hukum menjaga hidup lebih dikedepankan itu dibangun.
Alhasil, pernyataan Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono, yang mengatakan bahwa 90-94 persen pasien yang meninggal karena Covid-19 adalah mereka yang belum melakukan vaksin (Kompas,25/7) adalah fakta yang tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa vaksin sangat penting untuk menjaga kesehatan dan jiwa kita. Dari 90-94 persen pasien meninggal karena belum vaksin itu, Tasiman adalah salah satunya. Laki-laki desa, buruh serabutan yang berusaha mengamalkan pemahaman agamanya secara sederhana namun penuh makna; mengikuti para ulama pewaris para nabi melalui fatwa MUI sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan menaati peraturan pemerintah yang juga merupakan perintah Allah (an-Nissa:59) terlebih Tasiman tahu bahwa vaksin yang digalakkan oleh pemerintah adalah untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa rakyatnya. Wallahu a’lam bishawab. *