Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Wakil Presiden RI, Prof KH Ma’ruf Amin menyampaikan pidato dalam Milad ke-26 MUI pada Senin (26/7). Berikut ini teks lengkap pidato yang disampaikan secara virtual tersebut:
Pada hari ini saya sebenarnya ada teks yang mesti saya baca, tetapi saya ingin menggunakan kesempatan dalam rangka Milad ini untuk berbicara dari hati ke hati sebagai Ketua Dewan Pertimbangan dengan seluruh jajaran MUI. Jadi lebih pada membangun komunikasi untuk mengevaluasi apa yang menjadi tugas kita sebagai MUI.
Pertama saya ingin menyampaikan rasa prihatin yang sedalam-dalamnya dengan wafatnya seorang pejuang MUI yang tidak pernah berhenti, Al-Mukarramah Al-Ustadzah Prof Hj Huzaemah T Yanggo. Seorang yang alimah, shalihah, abidah, nafi’ah, yang telah banyak memberikan sumbangan ilmu dan kiprahnya melalui MUI. Kita merasa kehilangan dengan kepergian beliau, marilah kita membacakan Al-Fatihah untuk beliau. Allahummaghfirlaha wa’afiha wa’fua ‘anha, Alfaatihah.
Ini menunjukkan juga pada kita semua bahwa Covid-19 tidak memandang siapa pun, siapa saja dia bisa terserang. Tapi walaupun begitu, kepergian beliau adalah karena sudah ketentuan Allah SWT. Namun demikian kita sebagai manusia harus selalu berikhtiar untuk menghindarkan diri dari Covid-19 ini, karena berikhtiar itu sendiri at-ta’amul bi al-asbab itu kewajiban, tapi yang menentukan adalah Allah SWT.
Oleh karena itu, di satu sisi kita harus berusaha, tapi juga di sisi lain kita harus pasrah, harus menyerah terhadap apa yang ditentukan Allah. “Ikhtiyaran fi adh dhahir wa idhthiraran fi al-bathin.” Itu kata Syekh Nawawi, secara lahir kita berikhtiar, secara batin kita pasrah.
Yang kedua saya ingin mengajak kita semua untuk kembali berusaha meluruskan berbagai hal, yang pertama yang harus kita luruskan adalah “tashhihul khithah” meluruskan arah “wijhatul khidmah” perkhidmatan kita, dan yang kedua adalah “tashhihul khutwah wal harakah” yaitu meluruskan langkah dan gerakannya.
Yang saya maksud dengan khitah adalah arah perkhidmatan MUI. MUI sebagai wadah para ulama, di samping cendekiawan, di samping zuama, adalah merupakan “waratsatul anbiya” pewaris para nabi. Oleh karena itu, khittah perkhidmatannya adalah khitah nabawiyah yaitu khitah, wirasan arah yang dilakukan oleh para nabi. Khitah nabawiyyah menurut pemahaman saya itu adalah seperti apa yang dikatakan oleh Nabiyullah Syu’aib AS:
اِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ
“In uriidu illal ishlah mashtatha’tu
“Tidak ada yang saya kehendaki melainkan melakukan perbaikan menurut kemampuan saya.”
Oleh karena itu, khitah kita adalah khitah islahiyyah yaitu perbaikan di semua sektor. Aqidatan, wa ibadatan, wa fikratan, wa muamalatan, wa akhlaqiyyatan, ini arah khitah yang harus kita lakukan.
Saya sering katakan bahwa perjuangan kita (adalah) tidak mencari kemuliaan, tidak mencari kekuasaan dan tidak mencari kemenangan karena semuanya itu adalah bukan domain kita, tapi itu adalah domain Allah SWT. Kemuliaan, kekuasaan, dan kemenangan adalah “kuthwah Rabbaniyyah” itu langkah-langkah Tuhan.
Allah sudah mengatakan:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ
“Qulillahumma malikal mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyā`u wa tu’izzu man tasyā`u wa tudżillu man tasyā`” bahwa Engkaulah Allah yang memberikan kekuasaan kepada orang yang engkau kehendaki, mengambil kekuasaan juga dari yang engkau kehendaki. Artinya “al-mulk” adalah domain Allah.
Begitu juga kekuasaan, “wa tu’izzu man tasyā`u wa tudżillu man tasyā”, begitu juga kemenangan “waman nashru Illa min ‘indillah” kemenangan adalah dari Allah. Ketika Allah menyatakan:
هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Hal adullukum ‘alā tijāratin tunjīkum min ‘adżābin alīm. “Maukah kamu Aku tunjukkan sesuatu yang menyelamatkan kamu dari siksa?” yaitu:
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
Tu’minuuna billahi wa tujaahiduuna bi amwalikum wa anfusikum “Berjuang di jalan Allah SWT dengan harta dan jiwa.”
Ternyata balasan Allah kalau kita berjuang tidak hanya “tunjīkum min ‘adżābin alīm” tapi ada satu lagi
وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا
Jadi arah kita tidak kepada arah itu. tapi bukankah dulu para nabi, para ashhabi Rasulillah, khulafaur rasyidin, mereka memiliki kemuliaan, kekuasaan? Iya. Itu adalah buah amal. Itu adalah “tsamratul amal wa natijatul amal” bukan mereka cari, dan itulah yang namanya “athiyyah Rabbaniyyah” pemberian Allah SWT.
“wa ukhra wa tuhibbunaha”, dan ada yang lain yang engkau sukai
نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ
“hashrun minallah wa fathun qariib” yaitu pertolongan dan kemenangan dari Allah yang dekat. Jadi itu “nashrun minallah wa fathun qariib” itu juga domain Allah SWT.
Oleh karena itu, saya ulangi perkataan Sayyidina Umar bin Khattab, yang mengatakan:
نحن قوم أعزَّنا الله بالإسلام فمهما ابتغينا العزَّة في غيره أذلَّنا الله
nahnu qaumun a’azzanalloh bil Islam, famahma nabtaghi izzah, bi ghairi ma a’azzanallah, adzallanallahu”
“Kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah, mendapat kemuliaan dengan Islam. Apabila kita mencari kemuliaan tidak dengan cara yang dimuliakan Allah, dengan cara lain “adzalanallahu” maka Allah akan menghinakan kita.” Ini pernyataan Sayyidina Umar bahwa “walillahil izzatu jami’an”.
Kalau kita mengaca mengapa kita belum mendapatkan itu padahal itu janji Allah SWT dalam Alquran? Saya ulangi mungkin kita belum dianggap layak, belum “rasyid” kalau bahasa dalam fiqh itu. Jadi kita ini belum layak diberikan itu, masih “mahjur ‘alaih.”
Karena memang ma’unatullah, bantuan Allah itu tergantung daripada kesiapan kita. Rasulullah sendiri tidak linier, tidak terus juga selalu sukses, dibandingkan ketika Perang Badar dengan jumlah yang sedikit, tapi beliau memenangkan, karena ada inayah dari Allah.
إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَٰذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ
wa in tashbiruu wa tattaqu waya’tukum min faurihim hadza yumdidkum Rabbukum bi khamsati ālāfim minal-malā`ikati musawwimīn
Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda.”
Tapi ketika terjadi Perang Uhud tidak begitu. Walaupun tadinya menang tapi berbalik menjadi kalah karena ada perubahan sikap dari tukang rumat atau pemanah. Dia bergeser, terlena oleh banyaknya ghanimah, dia tinggalkan pos-nya. Di situlah Allah memberikan pelajaran. Apa di situ tidak ada Rasulullah? Ada. Tapi Rasulullah tidak bisa memberikan apa-apa karena memang ada penyimpangan, ada defiasi, ada sikap yang berubah shg tidak diberikan bantuan oleh Allah SWT. Maka itu, benarlah kata Imam Ibnu Athaillah:
ورود الإمداد بحسب الاستعداد
wuruudul imdaad bi hasabil isti’daad “Datangnya bantuan itu bagaimana dengan kesiapan kita.” Kita siap, tapi kalau kita belum kita dianggap belum rasyid dan masih mahjur ‘alaih.
Saudara2ku pengurus MUI,
karena itu arah kita itu tidak boleh bergeser. Jangan kita mengambil domain yang bukan domain kita. Imam Ibnu Athaillah juga mengatakan, bahwasanya:
إِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى إِنْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ.
Ijtihaduka fi-ma dhumina laka wa taqshiruka fi-ma thuliba minka dalilun ‘ala intimas al-bashirati minka” Berusaha kepada sesuatu yang sebenarnya sudah dijamin oleh Allah-kekuasaan, kemenangan, kemuliaan itu jaminan Allah.” Kalau kita mengarah ke sana, dan kamu lalai/abai terhadap apa yang diminta Allah, yaitu melakukan “harakah ishlahiyyah” di dalam berbagai hal itu menunjukkan bahwa telah hilang mata hati daripada kamu. Oleh karena itu kita harus kembali ke jalur ini, ke salurannya, ke arah yang benar.
Yang kedua adalah langkahnya. Kalau khitah kita ini sudah benar, langkahnya juga harus benar. Langkah kita, harakah kita harus menopang terhadap terwujudnya, terimplementasikannya khitah itu, li wujudil khitah. Jangan sampai khitthahnya ke sini, tapi harakahnya tidak sejalan, tidak searah. ini yang harus kita luruskan.
Yang kedua, khitah kita itu harus kita bangun dengan baik, karena Rasulullah mengatakan, “Innallaha katabal ikhsan bikulli syai’in” Allah mewajibkan (ihsan) di dalam segala hal, apalagi di dalam arah perjuangan, di dalam khitah kita. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA:
اَلْحَقُّ بِلاَ نِظَامٍ قد يَغْلِبُهُ اْلبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
al-haqqu bilā nidhamin qad yaghlibuhu al-bāthilu bin nidhōm
“Sesuatu yang benar tanpa terorganisir/terkelola dengan baik, akan bisa dikalahkan dengan batil yang terkelola dengan baik.” Ini saya kira sangat relevan, ini bisa kita mengalami sendiri bagaimana perkembangan dunia informasi kita.
Sekarang terjadi informasi, banjir info tidak hanya yang benar tapi juga yang bohong, hoaks. Sehingga antara kebohongan dan kebenaran itu menjadi tidak jelas, tersamarkan. Sehingga zaman ini dikatakan sebagai post truth, dimana kebenaran dan kebohongan menjadi tersamarkan. Oleh karena itu, saya menamakan masa ini adalah zamanul istibah, masa kesamaran, keserupaan. Maka doa Nabi itu masih relevan:
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، وَلَا تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ
Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqnattiba’ah. Wa arinal bathila bathila warzuqnajtinabah. Walaa taj’alhul multamisan ‘alaina fanadhilla
“Ya Allah perlihatkan kepada kami yang benar itu benar dan berikan kemampuan kami mengikutinya. Berikanlan pernyataan kepada kami, yang batil perlihatkan batil supaya bisa menghindarinya. Jangan sampai yang benar tidak benar ini terjadi (Iltibas) keserupaan, kesamaran sehingga kita menjadi tersesat.”
Kalau kita kebenaran itu tidak terkelola dengan baik, ini bisa terkalahkan oleh (al bathil bi nidhamin). Oleh karena itu, langkah-langkah kita harus kita lakukan dengan terstruktur, masif, benar-benar terencana.
Dan juga hal penting untuk bisa benar itu harus terkoordinasi, sebenarnya MUI sudah punya urusan itu yaitu “tansiqul khutwah wal harakah” supaya terorganisasi. Di sini peran MUI sebagai (imamah institusionaliyyah) untuk bisa mengkoordinasikan supaya gerakan-gerakan daripada kita menjalankan khitthah (nabawiyyah dan ishlahiyyah) ini menjadi terkoordinasi dengan benar, sepanjang koordinator ini tidak bisa kita lakukan maka apa yang akan kita capai belum tentu dapat maksimal.
Yang terakhir yang ketiga, saya ingin mengajak seperti tadi dikatakan bahwa kita masih menghadapi Covid-19. dalam menghadapi Covid-19 ini, kita harus berkiprah bukan karena kita secara sebagai “shadiqul hukumah” bukan hanya sebagai mitra pemerintah dan bukan membantu pemerintah. Saya ulangi sekali lagi, bahwa tugas kita itu memang kewajiban kita MUI. MUI mempunyai kewajiban ganda, (mas’uliyyah wathaniyyah) tanggung jawab kenegaraan, (wa mas’uliyyah diiniyyah) dan tanggungjawab keagamaan.
Menghadapi Covid-19 ini termasuk tanggung jawab negara dalam menjaga umat, masyarakat dan rakyat, tapi juga mengatasi Covid-19 adalah tanggungjawab keagamaan. Karena menjaga jiwa umat adalah termasuk “maqasyidus syariah”, tujuan syariah yang menjadi kewajiban kita, disamping (hifdhud diin, hifdhun nasl, hifdhul aql, dan hifdhu maal), ini termasuk “maqashidus syariah”. Itu kewajiban kita dan MUI punya tanggungjawab besar. Dan juga kata Syekh Nawawi, “Al- ilaj bil dawa’ wal ihtiras ‘anil waba.” Wajib memberikan obat, berobat dan menjaga diri dari wabah itu juga wajib. Karena ini wajib, tentu menjadi kewajiban MUI bukan hanya sebagai mitra pemerintah, melainkan ini merupakan tanggungjawab.
Oleh karena itu, seluruh jajaran MUI dari pusat hingga daerah tidak boleh ada yang tidak sejalan. ini adalah hal yang semua harus sama, semua harus mengambil peran aktif. Jangan sampai ada isu, dan jangan sampai ada kelompok-kelompok yang menggunakan isu Covid-19 dan kesulitan ekonomi dalam rangka membangun, mengobarkan distrust kepada pemerintah. Ini kewajiban kita MUI dalam rangka memantapkan dan menyatukan semua. Ini adalah “tauhidul harakah” menyatukan gerakan, “tauhidul khatwah” menyatukan langkah, “tauhidus shaf” menyatukan shaf, ini bagian daripada yang harus kita bangun