Oleh: Abdul Muiz Ali
(Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat)
Pertanyaan itu, mengingatkan saya saat mengikuti Bahtsul Masail antar pesantren se Jawa-Madura yang diselenggarakan oleh FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren) se Jawa-Madura yang di selenggarakan di pondok pesantren Hidayatul Mubtadiin, Ngunut Tulungagung Jawa Timur sekitar awal tahun 2000 an.
Dalam kegiatan tersebut saya menjadi peserta aktif sebagai delegasi dari pondok pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur.
Pada kesempatan itu, karena salah satu diantara materi Bahtsul Masail mendiskusikan soal pentingnya “Mengkonsumsi Barang Halal”, salah satu Tim Perumus Bahtsul Masail menjelaskan; Orang yang hati-hati dalam beragama harus paham tentang apa yang semestinya ia lakukan. Termasuk diantaranya, Ia (diharapkan) harus mengerti bentuk transaksi yang dilakukan dan atau memahami barang yang akan dijual kepada orang lain; ketika naik angkot, secara fikih disebut akad apa? ketika makan di warung, itu disebut akad apa?, ketika menjual barang, apakah barangnya tergolong boleh atau halal dijualbelikan atau tidak?, ketika menjual atau membeli gorengan, bahannya sudah halal atau tidak dan proses pembuatannya, termasuk bahan campurannya apa saja dan begitu seterusnya”. Dalam rangka hati-hati begitulah memang semestinya
Beberapa penjelasan diatas, mengingatkan saya pada setiap mengikuti sidang Komisi Fatwa MUI bersama LPPOM MUI. Terkadang ingin menetapkan halal produk kripik saja, setelah pengurus LPPOM MUI menjelaskan secara rinci hasil auditnya mulai dari bahan baku sampai proses pembuatannya, masih saja sebagian anggota Komisi Fatwa MUI menanyakan bahan penyanding lainya; minyak gorengnya bagaimana, garamnya sudah bersertifikat halal MUI apa belum, dan seterusnya.
Tradisi ilmiah yang dilakukan Komisi Fatwa bersama LPPOM MUI ini mencerminkan sikap hati-hati (ihtiyat) dalam menetapkan kehalalan sebuah produk.
Dalam al-Quran kata halal banyak disebut tidak kurang dari dua puluh kali dalam surat yang berbeda.
Perintah secara tegas untuk mengkonsumsi (makan, minum, menggunakan dan memanfaatkan) barang halal antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Dalam hadis disebutkan,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ
“Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. (HR. Bukhari dan Muslim).
Konon, Syaikh Idris bin al-Abbas bin
Utsman bin Syafi`, ayahanda Imam Syafi’i harus rela menerima “sangsi” hanya karena untuk meminta halalnya makanan yang terlanjur dimakan tanpa seijin pemiliknya.
Diceritakan juga, ada salah satu tokoh sufi terkemuka yang hidup pada generasi tabi’in. Ia suatu ketika tidak pernah lagi merasakan lagi nikmatnya ibadah dalam beberapa hari hanya karena suatu ketika pernah makan satu biji kurma yang masih belum jelas kehalalanya.
Menurut informasi dari salah satu santrinya, Mbah saya, KH. Hadiri bin Abdurrohman setiap bepergian tidak pernah makan di warung, karena katanya masih meragukan proses penyembelihan secara umum yang biasa dilakukan di pasar.
Penggalan beberapa penjelasan dan cerita diatas mengingatkan kita tentang pentingnya mengkonsumsi (makan, minum, menggunakan dan memanfaatkan) barang yang halal.
Kita yang dihadapkan dengan bermacam produk jenis makanan, obat-obatan, kosmetik, barang gunaan dll, harus selektif dan terjamin kehalalannya.
Disinilah sebenarnya fungsi sertifikasi Halal MUI pada sebuah produk menjadi sesuatu yang penting.
Sebuah produk yang sudah berseritikat Halal MUI setelah ditetapkan dalam sidang Komisi Fatwa bersama LPPOM MUI, tidak hanya menghilangkan keraguan konsumen, tapi juga menambah kenyamanan dan tentu akan menambah keberkahan bagi pelaku usaha.
Lahirnya Undang-Undang Produk Halal No 33 Tahun 2014 yang mencakup pangan, obat, kosmetika, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa gentik, dan barang gunaan yang wajib bersertifikat halal MUI, semakin menguatkan harapan bersama antara ulama dan pemerintah untuk menjadikan halal sebagai gaya hidup.
Sudah sangat banyak produk yang sudah disertifikasi halal MUI sejak keluar pertama kalinya sertifikat halal di tahun 1994. Sebagai gambaran data terakhir dari LPPOM MUI menunjukkan bahwa pada kurun waktu 2018-2020 berurutan setiap tahunnya jumlah produk yang mendapat sertifikat halal MUI Pusat sebanyak 138.837, 128.658 dan 217.263. Data ini belum termasuk sertifikasi halal MUI tingkat provinsi.
Produktifitas Komisi Fatwa MUI dalam menetapkan (istbat) halal sebuah produk bersama auditor LPPOM MUI–dan Lembaga lain–, merupakan contoh kongkrit dedikasi pengabdian MUI yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat (himayatul ummah) dan sekaligus mitra pemerintah (shodiqul hukumah).