Sholahudin Al-Aiyub
Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah & Halal
Jagat media sosial ramai membincang hal itu.
Terutama setelah Presiden Jokowi mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang.
Wabil khusus setelah Menteri Keuangan menyinggung hal itu dalam statementnya.
Berbagai reaksi menyeruak. Ada yang mendukung. Ada yang menolak. Dan ada pula yang adem ayem.
Yang mendukung berargumen, ini bagus karena ada sumber dana alternatif untuk pembangunan nasional.
Yang menolak mempertanyakan, wakaf adalah dana umat, tidak boleh jadi sumber fiskal negara.
Yang adem ayem beranggapan, ramai-ramai ini hanya sementara saja. Tidak akan ada tindaklanjutnya. Seminggu juga sudah pada lupa.
Berbagai reaksi tersebut menjadi tanda, wakaf sedang jadi perhatian nasional.
Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mulai dari Presiden sampai dengan netizen, semua berbicara wakaf.
Ini bagus untuk pengenalan wakaf. Khususnya wakaf uang.
Di kolom opini koran nasional KH. Ma’ruf Amin menyebut, wakaf selama ini dikenal hanya untuk 3 M; Masjid, Madrasah dan Makam. Semua bersifat aset tetap, tidak bergerak. Belum banyak yang paham, ada jenis wakaf yang likuid, yaitu wakaf uang. Pemanfaatannya pun tidak terbatas untuk 3 M itu. Bisa untuk program kesejahteraan dan kemaslahatan umat.
Karakter wakaf memang unik. Ia harus produktif dan sustainable. Pokok harta wakaf harus tetap terjaga. Hasil kelolaannya yang dapat dialokasikan. Terutama untuk kemaslahatan umum. Karenanya ia disebut shadaqah jariyah. Yaitu sedekah yang pahalanya terus mengalir.
Dalam hal wakaf berupa aset, asetnya tidak boleh dijual. Manfaat dan hasil kelolaannya yang dapat ditasarufkan. Begitu pula wakaf uang. Pokoknya tidak boleh berkurang. Hasil investasinya yang boleh dialokasikan. Untuk membiayai kemaslahatan umat.
Lalu, apa kaitannya dengan pembangunan infrastruktur? Bisa sangat terkait. Terutama dalam hal investasi wakaf uang. Tidak bisa langsung digunakan begitu saja. Tapi melalui mekanisme instrument keuangan. Misalnya melalui sukuk.
Alurnya begini: uang wakaf diinvestasikan melalui pembelian sukuk negara. Oleh negara, uang tersebut digunakan membangun infrastruktur. Terhadap hal itu, negara harus membayar semacam kompensasi. Yang kemudian menjadi imbal hasil sukuk. Yang juga merupakan hasil investasi dana wakaf. Imbal hasil ini dapat dialokasikan untuk membiayai kemaslahatan umat. Saat tenor sukuk sudah selesai, pokok uang wakaf dikembalikan lagi kepada nazhir wakaf.
Sangat simple dan sama-sama untung. Nazhir wakaf untung karena dapat instrumen investasi yang mentes (sangat bagus). Tidak ada resiko. Karena sukuk negara dijamin oleh Pemerintah. Itu artinya syarat utama investasi uang wakaf terlaksana. Yaitu tetap terjaganya pokok uang wakaf yang diinvestasikan.
Imbal hasil yang diperoleh juga lumayan. Karena rate imbal hasil sukuk negara relatif lebih tinggi.
Di sisi lain pemerintah juga untung. Karena dapat fresh money dalam bentuk rupiah. Untuk modal membangun infrastruktur. Itu dapat menjadi pengganti pinjaman luar negeri. Yang selama ini jadi andalan. Sekaligus juga menjawab keinginan publik. Agar utang luar negeri diakhiri. Atau setidaknya dikurangi.
Pemerintah tak perlu pusing lagi dengan spread (selisih tukar) kurs dollar dan rupiah. Terutama saat jatuh tempo. Karena dana wakaf berupa kurs rupiah. Saat harus beri imbal hasil investasi (semacam bunga pinjaman), dana tersebut pun tidak ke mana-mana. Maksudnya tetap ada di dalam negeri. Bahkan dialokasikan untuk membiayai proyek kemaslahatan umum. Itu artinya lebih membawa nilai tambah dan efek berantai pada ekonomi nasional.
Itu artinya menjadikan wakaf sebagai pilar pembangunan nasional sangatlah potensial. Sebagaimana fakta sejarah saat awal berdirinya republik ini yang banyak ditopang oleh wakaf umat Islam.