Puasa Dan Ketaqwaan
Oleh : Ahmad Muttaqin, M.Ag
Pengurus PKMB UIN Raden Intan Lampung
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Firman Allah SWT diatas merupakan ayat yang menunjukkan pensyaria’atan puasa ramadhan bagi umat Islam. Tujuan puasa yang disyari’atkan Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa bukanlah perintah yang tidak bermakna apa-apa, tujuan dari perintah kewajiban puasa pada akhirnya adalah agar tercapainya derajat taqwa bagi yang melaksanakannya.
Ayat diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah puasa memiliki korelasi dalam pencapaian derajat taqwa, artinya terdapat banyak kandungan hikmah dan penempaan ruhani yang dapat dicapai dalam pelaksannaan ibadah puasa, hingga title taqwa, orang-orany muttaqin bias diraih, orang-orang yang layak mendapat ganjaran Syurga.
Puasa dalam bahasa arab disebut dengan lafald al-ṣaum/ al-ṣiyām. yang memiliki makna dasar “Menahan dari sesuatu atau, sebagaimana yang kita pahami dalam tuntunan syariat. Yakni, menahan dari segala sesuatu yang awalnya diperbolehkan oleh syariat, dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Para ahli hikmah menyebutkan adanya tingkatan dalam ibadah puasa. Puasa tidak hanya sekedar dimaknai hanya sebagai menahan dari rasa haus dan lapar, atau menahan dari gairah seksual saja. Yakni: ada puasanya ahli syariat. Ada puasanya ahli tarekat. Demikian juga, ada puasanya ahli hakikat. Mengutip pesan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, Puasa memiliki tiga tingkat. Yakni puasanya orang awam, puasanya orang khusus dan puasa khusus buat orang khusus.
Puasa level pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam. Level puasa ini adalah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang atau sudah menjadi kebiasaan umum. Praktik puasa yang dilakukan di level ini sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara syariat.
Kedua disebut sebagai shaumul khushus atau puasanya orang-orang spesial. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah.
Adapun level yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Inilah praktik puasanya orang-orang istimewa, excellent, Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah. Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori level ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin, sementara di level kedua adalah puasanya orang-orang shalih.
Fase-fase tingkatan yang diungkapkan oleh al-Ghazali, tetntu saja bukanlah tingkatan yang didapat begitu saja, melainkan melalui penempaan ruhani, terus bermujahadah melatih daya ruhani, oleh karena itu sangat dianjurkan mengisi bulan ramadhan dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti berzikir, tadarus, tarawih dan sebagainya, sehingga ruhani memilik kemampuan mengontrol dan mengendalikan nafsu agar lebih terarah dan tidak terbawa pada arus nafsu rendah.
Adapun Taqwa, Secara etimologi takwa berasal dari kata waqa – yaqi – wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan pengertian takwa secara terminologi, takwa adalah takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Menurut Quraish Shihab, taqwa, terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi atau menjaga diri. Jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang menghindari, menjauhi atau menjaga diri. Atau dengan kata lain; taqwa adalah upaya sungguh-sungguh untuk memelihara, menjauhkan diri dari siksaan atau adzab Allah dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian takwa atau sifat ketakwaan, secara ruhani menyiratkan kemampuan untuk menahan, menghindari ataupun menjauhi dari desakan nafsu-nafsu rendah, atau nafsu buruk bahkan lebih terdorong pada dorongan kebaikan. Watak yang mampu menguasai dan mengontrol dirinya dari keburukan-keburukan, sehingga seseorang tidak jatuh dalam kenistaan dan kehancuran diri.
Dari sini kita bias mengambil benang merah korelasi antar puasa dan ketaqwaan itu sendiri. Ada ungkapan, ‘ berapa banyak manusia yang hancur kehidupan dirinya karena tidak mampu mengontrol keinginan-keinginannya”,. Dengan puasa kita dilatih untuk menahan dari keinginan-keinginan yang berlebih, bahkan yang halal sekalipun, . upaya melatih ruhani kita, emosi dan nafsu kita, sehingga menjadi pribadi yang penuh mawas diri, mampu mengontrol dirinya, bukan hanya dari nafsu atau keinginan buruk tapi juga keinginan-keinginan duniawi lainnya yang berlebihan, dan hanya mengarahkan seluruh hidupnya hanya pada Allah SWT. pribadi muttaqin, pribadi Ketaakwaan.
Wallahul Muwafieq ila aqwith thariq
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh