Bandar Lampung: MUI Lampung selenggarakan sarasehan ulama dan umara dengan tema meneguhkan peran majelis ulama dalam mewujudkan peran ulama di Bumi Lampung. Sarasehan tersebut dilaksanakan di sela pengukuhan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung di Ballroom UIN Raden Intan Lampung pada Rabu, 23 Februari 2022.
Kegiatan yang dimoderatori oleh Dr. Sudarman, M.Ag ., menghadirkan empat tokoh Lampung yakni Prof. Wan Jamaluddin Z, Ph.D., Prof. Dr. Marzuki Noor, Dr. Alamsyah, M.Ag., dan Dr. Abdul Syukur, M.Ag.
Prof. Wan Jamaluddin Z, Ph.D., dalam pemaparannya menyatakan peran MUI sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara di tanah air Indonesia. Ulama juga memiliki peran strategis dalam melakukan akselerasi pemahaman keislaman secara kontekstual dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, perlu dibumikan wasthiyah dalam beragama. Membumikan wasathiyah, menurutnya, mengimplementasikan secara terus menerus falsafah piil pesinggiri yang telah lama menjadi budaya masyarakat Lampung.
“Masyarakat Lampung sudah memiliki falsafah piil pesinggiri, di dalamnya mengandung nilai-nilai Islam, di antaranya tasamuh (toleransi), i’tidal dan moderasi. Karena itu, falsafah piil pesinggiri harus terus disemaikan secara luas dan massif di bumi Lampung,” ujar Prof. Wan Jamaluddin Z, Ph.D., yang juga menjabat Rektor UIN Raden Intan Lampung.
Pembicara kedua, Prof. Marzuki Noor, dalam pemaparannya menyampaikan ada beberapa keteguhan yang perlu dimiliki sebagai seorang muslim, terkhusus ulama, di antaranya keteguhan dalam keberagamaan. Menurutnya, tingginya tingkat keberagamaan bukan dilihat dari seberapa banyak ibadah haji yang telah dilakukan, tapi dilihat seberapa besar kesalehan sosialnya di masyarakat.
Karena itu, menurut Prof. Marzuki Noor, seseorang yang hatinya, agamanya, imannya, janji dan kedudukannya memiliki keteguhan, akan menjadi insan yang wasathiyah.
“Kehidupan umat yang moderat dalam kesetimbangan, akan terlihat dalam kehidupannya, ia akan memiliki akidah yang berkualitas, tertib beribadah, berakhlak yang toleran, dan harmonis dalam bermuamalah,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Alamsyah, M.Ag., sebagai pembicara ketiga menyatakan dalam pemaparannya bahwa moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrim atau berlebihan saat mengimplementasikannya. Perilakunya dinamakan moderat.
Karena itu, menurutnya, ada dua hal yang harus dibangun untuk menjadi moderat. Pertama, komitmen dalam berbangsa, dan kedua komitmen dalam beragama.
“Dalam berbangsa, semua sepakat setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan kebhinekaan. Dalam beragama, semua sepakat bersikap moderat dan toleran dalam beragama, apapun perbedaan antar agama atau aliran-aliran di dalamnya” ujanya.
Prof. Dr. Alamsyah, M.Ag., juga memberikan beberapa peran dan tanggungjawab MUI dalam berbangsa, bernegara dan beragama, yakni MUI menjadi wasith untuk menjaga wasathiyah di Indonesia, mengkordinasikan dan mengkonsoliasikan kekuatan Islam moderat (silaturahmi, silatulfikri dan silatul harakah), membangun moderasi dan toleransi beragama di Indonesia, melindungi berbagai kelompok umat Islam yang berbeda, mengedukasi, menanamkan dan merawat moderasi dan toleransi antar berbagai kelompok.
“Selain itu juga, perlu mengokohkan pandangan bersama dalam berbangsa dan bernegara serta menjadi mitra pemerintah dalam menyelesaikan berbagai konflik umat beragama”, ujar Prof. Dr. Alamsyah, M.Ag.
Sementara pembicara keempat, Dr. Abdul Syukur, M.Ag., memaparkan ciri-ciri wasathiyah bagi seseorang, yakni harus memiliki tiga prinsip yaitu prinsip pendidikan kebangsaan, prinsip keislaman yakni islam berwawasan kebangsaan (moderasi Islam), dan ketiga prinsip memahami kultur kemasyarakatan, agar agama mampu bersinergis dengan budaya masyarakatnya.
“Jika ketiga prinsip tersebut dimiliki seseorang, maka seseorang tersebut termasuk umat yang berkualitas (khairu ummah), dan menjadi umat yang moderat (wasatha),” ujarnya.
Ia juga menyatakan, ada ciri seseorang disebut ulama, harus memiliki kelembutan hati dan berakhlakul karimah, baik perkataan, sikap maupun perbuatan. Ulama juga harus lembut dan banyak senyum. SelIn itu, ulama juga harus mengetahui dirinya dan lingkungannya.
“Karena itu, ulama MUI tidak boleh sebelum mendengarkan ceramah agama, tensinya normal, setelah mendengarkan ceramah agama, malah tensinya naik”, ujar Dr. Abdul Syukur, M.Ag. (Abdul Qodir Zaelani)