Nani Wartabone Pahlawan Kemerdekaan Indonesia Di Gorontalo
Oleh: Fahrudin Zain Olilingo*
Peristiwa Heroik yang terjadi di Gorontalo pada tanggal 23 Januari 1942 belum terlalu banyak yang mengetahuinya. Pada saat itu di bawah pimpinan Nani Wartabone Gorontalo memproklamirkan kemerdekaan, namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi proklamasi yang dibacakan pada hari Jum’at tanggal 23 Januari 1942 antara lain termuat dalam buku “ Perjuangan Rakyat Gorontalo” (IKIP Negeri Gorontalo Cabang Gorontalo, Yasanan 23 Januari 1942 Jakarta, 2018) penerbit PT. Gobel Dharma Nusantara dengan Kata Pengantar Wakil Presiden RI tahun 1982 bapak H. Adam Malik, adalah:
“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942 kita Bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga, Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya, Pemerintah Belanda sudah diambil Pemerintah Nasional”. Setelah pekik kemerdekaan tersebut masyarakat Indonesia yang berada di Gorontalo telah menghirup udara kemerdekaan, bendera dikibarkan di seantero negeri, penduduk Gorontalo kecil maupun besar bersuka cita bebas beraktifitas tanpa tekanan dari siapapun juga.
Sememtara itu untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia di Gorontalo dibentuklah Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang diketuai Nani Wartabone sebagai Kepala Pemerintahan, Wakil Ketua R.M. Koesno Danoepoyo serta dilengkapi dengan Badan-Badan pemerintahan serta Distrik dan Onder Distrik yang mengepalai wilayah dalam wilayah PPPG. Pengaruh pemerintahan PPPG di bagian timur hingga ke Molibagu dan Kaidipan Besar (saat ini Sulawesi Utara) dan ke Barat sampai ke Buol Toli-Toli (saat ini Sulawesi Tengah) dengan jumlah penduduk mencapai 300.000 jiwa (Yayasan 23 Januari 1942, 1981). Kemerdekaan Gorontalo memiliki kaitan erat dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sehingga Nani Wartabone pada tahun 2003 oleh Pemerintah Indonesia dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional Perintis Kemerdekaan.
Jasa Nani Wartabone tidak saja memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun setelah Indonesia merdeka Nani Wartabone tampil mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan separatis Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual yang memulai gerakannya pada tanggal 2 Maret 1957 dan meliputi wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku. Hubungan yang sangat dekat antara Nani Wartabone dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia terutama Ir. Soekarno selalu mengilhami sepak terjang beliau sehingga sikap nasionalisme selalu yang utama dalam perjuangan walaupun harus hidup di tengah hutan menggembleng pasukan rimba yang telah beliau bentuk dari para pemuda tani (Hulunga).
Hubungan kekerabatan dengan Ir. Soekarno tersebut ketika beliau menjabat sebagai Presiden RI pertama perlu mengunjungi Gorontalo hingga dua kali dan kunjungan pertama tahun 1951 dengan pesawat Amfibi dan mendarat di permukaan Danau Limboto diterima langsung Nani Wartabone dan masyarakat Gorontalo (saat ini tempat pendaratan Ir. Soekarno tersebut diabadikan sebagai Meseum Pendaratan Soekarno). Tokoh Nani Wartabone adalah putera Raja Suwawa yang kemudian diajak Kerjasama oleh pemerintah Belanda dan diberikan jabatan sebagai Jogugu (di Jawa disebut Wedana).
Sebagai anak pejabat penting di Pemerintahan Belanda sudah tentu mendapat fasilitas dan kemewahan yang justru bertentangan dengan batinnya sehingga beliau memilih untuk dekat dengan rakyat. Fasilitas sekolah yang diberikan Belanda untuk bersekolah di Surabaya digunakan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sehingga beliau menbentuk Jong Gorontalo dan bersama-sama dengan Jong dari daerah lainnya seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak membacakan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Sekembali dari Surabaya beliau langsung membentuk pasukan pemuda tani dan menanamkan sikap nasionalisme, berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Selain itu beliau bergabung dengan Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI) dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan di Gorontalo seperti R.M. Koeno Danoepoyo, Bu Oe. H. Buluati, A.R Ointu, Syagaf Alhasni, Hasan Bajeber, Oe. Hadju, Oe Monoarfa dan lain-lain. Ketika pecah Perang Asia Timur Raya dimana Jepang membombardir Pearl Harbour pangkalan militer Amerika Serikat di Hawai dan ancaman Jepang ingin mencaplok seluruh Asia Timur telah membuat kehawatiran imperialisme Belanda di berbagai daerah termasuk di Indonesia.
Ketika Jepang sudah mendaratkan pasukannya di Manado 10 Januari 1942 Belanda semakin kehilangan arah dan merencanakan membumi hanguskan Gorontalo sebelum masuknya Jepang. Pergerakan pejuang kemerdekaan bertindak cepat untuk mengisi kekosongan pemerintahan (vacuum of power) dan mencegah rencana Belanda untuk membumi hanguskan Gorontalo. Pada tanggal 15 Januari 1942 terbentuklah Komite 12 dengan ketuanya Nani Wartabone, wakil Ketua R.M. Koeno Danoepoyo.
Siasat gerilya dilakukan di bawah komando Nani Wartabone sehingga satu persatu pejabat tinggi Belanda di Gorontalo ditangkap tanpa pertumpahan darah dan dimasukkan ke dalam penjara. Puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia di Gorontalo pada hari Jum’at, 23 Januari 1942 di Lapangan Taruna Remaja. Rakyat berbondong-bondong menyaksikan peristiwa heroik tersebut dengan pengawalan yang ketat oleh Pasukan Kota di bawah komando Kapten Ibrahim Mohammad. Masa kemerdekaan Gorontalo berlangsung hanya beberapa bulan karena Jepang yang masuk ke Gorontalo pada awalnya bermaksud bekerjasama dan menjunjung kemerdekaan Gorontalo.
Para pembesar Gorontalo dihormati dan rakyat Gorontalo diberi kebebasan menikmati kemerdekaan, namun hal itu hanyalah siasat untuk mengelabui rakyat agar tidak memberontak. Secara perlahan pemerintah Jepang telah meniadakan peran PPPG dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dan pada akhirnya Jepang menguasai Gorontalo tanggal 16 Juni 1945 (Zein Badjeber, B.J Mahdang, 2022).
*Penulis: Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo
*Pengurus KKIG dan MUI Provinsi Gorontalo