Moderasi Beragama Berbasis Qaidah Fiqhiyah
Dr. Agus Hermanto
Komisi Penelitian MUI Lampung
Qaidah Fiqhiyah adalah asas-asas hukum yang berbasis logika sehat, sehingga seseorang dapat menjadikannya sebagai pertimbangan dalam melakukan sesuatu, termasuk cara pandang dalam beragama.
Kaidah Fiqhiyah tersebut terdiri dari lima asas beserta cabangnya. Adapun kaidah itu adalah; Pertama, al-umuuru bimaqaashidihaa (suatu hal tergantung pada maksudnya), maksud tersebut adalah niat, bahwa orang yang meyakini suatu agama haruslah berdasarkan niat yang kokoh, agar senantiasa teguh imannya dan tidak goyah dengan segala rintangan yang menjerumuskan kelembah murtad. Karena jika iman seseorang secara intertum tidak diyakini secara benar, maka akan mudah tergoyahkan, hingga keluar dari agamanya dengan memilih agama sesuai logikanya. Padahal agama adalah pedoman, jika seseorang tidak menjalankannya dengan benar, maka pastilah akan mudah menganggap bahwa agama hanyalah seremonial, hingga tidak dijadikannya sebagai tujuan dan barometer hidupnya. Maka, dalam beragama haruslah didasari niat, agar agama dapat memberikan keselamatan baik duniawi maupun ukhrawi.
Kedua, al-dhararu yuzaalu (kesulitan harus dihilangkan) seseorang dalam beragama harus dapat merasakan sebuah kenikmatan, karena jika tidak mampu merasakan itu, maka akan sulit baginya memiliki ketenangan hati, agama tidaklah menyulitkan, melainkan memudahkan, agama mengajarkan perintah agar menjadi hamba yang taat, dan memberi larangan agar manusia senantiasa menjadi sabar. Segala perintah pastikan memiliki kemaslahatan dan segala larangan pastilah memiliki mudharat. Maka, jika ada sesuatu yang mudharat, haruslah dihilangkan, karena Allah tidaklah memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas kemampuannya.
Ketiga, al-masyaqqatu tajlibu al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan) agama adalah jalan lurus yang menjadikan pemeluknya mudah menjalankan, dan tidaklah Allah jadikan agama sebagai sesuatu yang menyulitkan, namun demikian bahwa agama adalah lentur, hingga sesuatu yang awalnya dilarang, karena adanya sesuatu yang menyebabkan hambanya sulit, maka Allah bolehkan agar terhindar dari kesulitan, meskipun tadinya dilarang, berbohong adalah hal yang dilarang agama, tapi pada saat terancam, seseorang akan mendapatkan dispensasi, yaitu boleh berbohong demi keselamatan.
Keempat, al-yaqiinu la yuzaalu bi alsyakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan) maksudnya bahwa seseorang yang beragama dengan sebuah keyakinan dan taat beribadah serta selalu beramal shalih, haruslah ia yakin bahwa ia senantiasa mendapatkan pahala dijalaninya dengan ikhlas, sehingga tidak perlu adanya keraguan atas keyakinan dalam ibadah dan muamalah. Karena agama mengajarkan norma-norma yang harus dijalankan pada setiap hamba, yang tanpa harus ragu atas apa yang ia yakini. Ketika seseorang telah yakin atas agama yang dipeluknya, tidaklah dibolehkan ragu atas keyakinannya.
Kelima, al-aadah muhakkamah (adat atau kebiasaan dapat menjadi pertimbangan hukum) dalam konteks bergama, bahwa ketika kita lihat realita pada saat ini, kita kenal istilah tradisi agama dan agama tradisi. Tradisi agama dan agama tradisi tidak dapat dipisahkan, ketika seseorang sedang menjalankan sholat, artinya orang tersebut sedang menjalankan tradisi agama, sedangkan dalam konteks lain ketika seseorang sedang beristighasah, bertahlilan, dan sejenisnya adalah agama tradisi, karena awalnya acara tersebut adalah kegiatan yang dilakukan dari unsur tradisi yang dibungus dengan agama sebagai metode dakwah, adapun isinya adalah norma agama yang suci, yaitu syukur, shadaqah, dzikir dan lainnya. Wallahualam