Literasi Santri
Oleh: H. M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil Ketua LBM PWNU DKI
Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Literasi dikalangan santri dan pesantren sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun hingga kini. Pesantren-pesantren yang kerap disebut ‘pesantren tradisional” sejauh ini akan tetap menjaga tradisi ini sembari terus melakukan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan. Ini sesuai dengan prinsip;”Al-Muhafadztu ‘ala al-Qodimi al-Sholih wal akhdzu min jadid al-ashlah’. Sungguh dengan prinsip ini santri terbukti mampu menjaga marwahnya dengan meningkatkan keilmuan, kepekaan dan kekritisannya sehingga mereka tidak mudah terbujuk rayu atau termakan oleh berita-berita yang belum jelas kebenarannya.
Pondok pesantren tradisional mempunyai metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam terhadap santri, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren, terutama yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama.
Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran-ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats. Secara bahasa, sorogan berasal dari kata Jawa sorog, yang artinya menyodorkan. Dengan metode ini, berarti santri dapat menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya sehingga mendapatkan bimbingan secara individual atau secara khusus.
Dengan menggunakan metode sorogan, setiap santri akan mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustadz atau kiai tertentu yang ahli dalam mengkaji kitab kuning, khususnya santri baru dan santri yang benar-benar ingin mendalami kitab klasik. Dengan metode ini, kiai tersebut dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung. Metode Ini sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut.
Dengan menggunakan metode sorogan, santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Hal ini tentunya menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri.
Adapun metode bandongan atau bandungan, istilah ini dalam bahasa Jawa, berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena bandongan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar. Dalam menggunakan sistem ini, sekelompok murid yang terdiri antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.
Di pesantren, berbagai bidang ilmu keagamaan yang bukan hanya mengisi ‘hati’ santri’, tetapi juga ‘kepala’ santri. Ilmu-ilmu spiritua; seperti tasawuf diajarkan secara intensif dengan banyak kitab karya para ulama mu’tabar. Demikian halnya ilmu yang mengajak santri untuk mau berpikir secara logis dan jernih juga diajarkan misalnya melalui ilmu mantiq. Ilmu mantiq atau logika yang diajarkan di pesantren adalah ilmu yang sama tuanya dengan keberadaan pesantren di Indonesia. Tradisi yang berlaku di dunia pesantren Indonesia menempatkan logika sebagai ilmu yang harus dikuasai, setelah terlebih dahulu menguasai berbagai ilmu pokok. Ilmu pokok yang dimaksud adalah ilmu nahwu-shorof, ilmu fikih, ilmu tauhid hingga ilmu sastra seperti ilmu arudh. Ilmu-ilmu ini masih ditambah dengan berbagai bacaan ‘suplemen’ yang akan memberikan ‘gizi’ lebih sehat bagi stamina santri dalam berpikir, bersikap dan bertindak secara bijaksana.
Apa yang juga bisa kita petik dari tradisi pesantren yang ‘khas’ ini? Tentu dengan tradisi tersebut akan menghasilkan para santri yang cermat dalam membaca dan mendalami keilmuan. Disamping itu, dengan tradisi pengajaran model tersebut melahirkan sikap keberagamaan yang terbuka, toleran dan saling menghomati. Saat ini, kita tengah menghadapi pemahaman keagamaan yang dangkal dan picik yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang anti kemanusiaan. Kemanusiaan dipandang bukan bagian keagamaan, karenanya bagi mereka ini hanya agama yang bisa menyelamatkan manusia dari segala kekacauan.
Agama sebagai Sumber Literasi
Fenomena menguatnya sikap keberagamaan eksklusif yang menonjol saat ini justru menempatkan agama menjadi energi teror dan kebencian. Seperti kita lihat saat ini mereka yang menghalalkan terorisme dan mereduksi makna jihad sebagai perang fisik melawan musuh-musuh Islam (jihad qital). Musuh Islam itu bukan hanya kafir ajnabi, yaitu orang-orang asing yang menjajah dan memerangi umat islam, tetapi juga kafir mahalli, yaitu pemerintah nasional, aparatur dan pendukungnya yang mendukung sistem sekuler. Mereka menghalalkan darah orang yang berhenti memperjuangkan formalisasi syariat Islam dan menolak berjuang menegakkan khilafah Islamiyah.
Ditangan mereka ini, agama menjadi monster yang menakutkan. Mereka mengkafirkan dan menumpahkan darah sesama ahlul qiblat. Al-Qaeda, ISIS, Hizbut Tahrir, Salafi Jihadi serta afiliasi dan jaringannya di seleuruh dunia termasuk Indonesia, adalah ancaman bukan hanya bagi peradaban Barat, tetapi bagi Islam dan kemanusiaan. Keberadaan mereka adalah skenario mulus untuk merancang proyek benturan peradaban (clash of civilization). Skenario ini dirancang untuk membenturkan Barat dan Timur beserta peradabannya, yaitu Judeo-Christian versus Islam, Hiduisme dan Konfusionisme.
Padahal sejatinya agama harus menjadi penerang kegelapan, penyemai energi cinta dan kasih sayang, penegak keadilan dan keadaban, bersimbiosis dengan sains dan tehnologi mewujudkan peradaban yang maju dan berperikemanusiaan.
Memang benar tidak semua tragedi kemanusiaan berbalut agama dan bersampul keyakinan. Hitler membantai Yahudi tidak bermotif agama, tetapi sentimen rasial. Perang dunia I dan II berkecamuk bukan karena alasan agama, tetapi perebutan pengaruh dan sumber daya ekonomi-politik diantara negara-negara adidaya. Namun, kaum agamawan harus berlapang dada mengakui bahwa konflik, perang, kebencian dan pertumpahan darah atas nama agama dan kitab suci telah menorehkan luka yang sangat dalam bagi kemanusiaan.
Bagaimana kehidupan keilmuan atau literasi dimasa gemilang Islam? Ini perlu ditunjukkan kembali untuk meneguhkan bahwa Islam tidak hanya berkubang dengan teologi dan fikih saja yang memudahkan konflik antara sesama muslim.Islam sebagaimana ditunjukkan salafus shalih adalah agama terbuka. Islam pernah mecapai puncak kejayaan pada abad ke 7-13 M karena terbuka terhadap peradaban lain, mengadaptasi gagasan tanpa beban dan menganggapnya sebagai hikmah yang hilang dari seorang mukmin. Semangat ini melatarbelakangi pendirian Baitul Hikmah oleh Khalifah al-Makmun (813-833 M), khalifah dari Bani Abbasiyah. Ditengah iklim keterbukaan dan kebebasan berfikir, buku-buku asing termasuk filsafat Yunani diterjemahkan. Pengaruh dari gerakan penerjemahan buku ini bukan hanya membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Khazanah Islam berkembang dalam disiplin ilmu kalam, tafsir, fikih dan tasawuf, Pada puncak keemasan Dinasti Abbasiyah, Baghdad menjelma sebagai mercusuar dan ilmu pengetahuan.
Pada abad-abad keemasan ini banyak lahir para bintang cemerlang yaitu para ulama dan ilmuwan. Mereka banyak melahirkan karya-karya besar dalam berbagai bidang yang akhirnya membawa kemanfaatan untuk membangun peradaban ilmu. Dari para ulama madzhab lahir seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Lahir pula para filsuf dan ilmuwan seperti Jabir bin Hayyan, Al-Fazari, Al-Khawarizmi, Ibnu Miskawaih, al-Farabi, Ibnu Rusyd serta masih banyak lainnya. Sedikit menderet ulama, ilmuwan dan filsuf ini untuk menunjukkan bahwa budaya literasi sudah tumbuh sedari dulu. Literasi yang dibangun adalah untuk melahirkan inovasi dan kreasi yang sedemikian eloknya sehingga mmapu memberikan sumbangsihnya yang besar bagi peradaban dunia. Dan kini semangat literasi itu diwarisi oleh para santri dan pesantren yang dengan telaten mengumpulkan karya-karya ulama terdahulu yang kemudian dikaji dengan model yang inovatif oleh para santri. Ini yang jarang atau bahkan langka kita temui di lembaga pendidikan lain. Terlebih saat ini, fakta belajar agama lebih banyak dilakukans ecara instan. Ini berarti telah ‘membunuh’ semangat literasi yang telah dilestarikan oleh para santri dan pesantren.
Menariknya, dimasa kegemilangan literasi umat Islam ini, para ilmuwan, filsuf dan ulama pada masa itu tidak pernah bicara Islam sebagai alternatif (al-Islam huwa al-badil) atau terobsesi kepada Islam yang asli (ruju’ ila al-ashlah). Mereka berdialektika dengan banyak budaya dan peradaban. Mereka mendialogkan agama dengan filsafat, mengulas pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles dalam perspektif Islam dan menerobos batas-batas ilmu pengetahuan umum dan agama. Mereka beragama tidak hitam putih atau terpaku pada pendekatan halal-haram. Berkat jasa mereka, Barat menemukan kembali khazanah filsafat Yunani yang sebelumnya terkubur. Tanpa kontribusi para filsuf muslim terutama Averroes, Barat masih tertidur nyenyak di alam kegelapan.
Namun, kini yang terjadi di dunia Islam fenomena menguatnya arus paham yang anti intelektual. Mereka mendesakkan pemahaman yang puritan dengan menggemakan jargon kembali ke al-Quran dan sunnh. Tentu sebagai muslim semua akan merujuk pada al-Quran dan sunnah. Akan tetapi yang menjadi sumbu kritik adalah memahami kedua sumber primer ajaran Islam tersebut tidak sertamerta secara harfiyah. Perlu instrumen yang sangat banyak. Kalau tidak begitu, mengapa para ulama dulu memproduksi kitab-kitab begitu banyak dalam rangka untuk menjadi panduan memahami kedua sumber utama tersebut.
Disebalik itu, jargon puritan tersebut akan membawa implikasi yang tidak kecil. Yang menonjol adalah sikap tertutup dan mudah mencela bahkan mengkafirkan sesama muslim. Akibat lanjut dari pandangan itu, akan menimbulkan disharmoni di masyarakat. Secara internal keagamaan bisa membuat gaduh. Secara eksternal lebih lebih akan mudah memaki terhadap agama lain. Pandangan jadi hitam-putih karena kekalapan dalam memahami secara puris. Karenya, literasi yang telah dibangun oleh para ulama, ilmuwan dan filsuf terdahulu dan kirni diwarisi oleh kalangan santri harus terus digalakkan untuk melahirkan cara berpikir yang cerdas dan damai.