Reaktualisasi Nilai-nilai Toleransi dalam Al-Qur’an
Oleh : Ahmad Muttaqin
Indonesia merupakan sebuah Negara yang majemuk dan heterogen, bermacam-macam suku, bangsa, bahasa, warna kulit, budaya, bahkan agama hadir di Negara ini. Kondisi ini, tentu saja menuntut adanya sikap menerima perbedaan, memahami keragaman, serta mampu berinteraksi dalam perbedaan tersebut. Sehingga potensi keragamaan ini bisa dipicu sebagai pendorong kemajuan bangsa dan menjadi kekayaan peradaban bangsa dan ukan sebaliknya justru menjadi akar konflik dan perpecahan Negara.
Sikap mampu menerima perbedaan, dan berinteraksi secara social, bekerjasama tanpa menjadikan perbedaan sebagai penghalang, hal inilah yang dinamakan Toleransi, sedangkan sikap sebaliknya dikenal sebagai sikap Intoleran.
Sikap yang berlawanan dengan sikap toleran atau intoleran inilah yang saat ini menjadi sebuah kata yang menjadi momok umat Islam, baik secara global maupun nasional. Umat Islam distreotipe kan sebagai kelompok yang tidak mampu hidup ditengah keberagaman, gemar memaksakan kehendak, terror dan melakukan pemaksaan terhadap kelompok lain. Akibat ulah segelintir orang, melakukan teror dengan mengatasnamakan agama, citra Islam menjadi buruk dimata dunia, secara global, Citra Intoleran inilah yang menjadi salah satu factor munculnya ‘Islamophobhia” dikalangan Negara-negara barat, dan bahkan di negeri Indonesia, gerakan Islamophobia ini turut dianut oleh beberapa kalangan, di Negara yang notabene merupakan Negara Muslim, miris memang.
Gerakan Islamophobia dan citra intoleran yang disematkan pada kaum muslimi ini, pada gilirannya tuduhan ini juga menunjuk pada kitab suci Umat Islam, yakni Alqur’an. Sikap yang mengedepankan kekerasan dan tidak menerima perbedaan dari umat Islam tentu berasal dari ajaran-ajaran kitab sucinya yang mendorong pada kekerasan juga, demikian pemikiran orang-orang barat terhadap al-qur’an.
Kondisi seperti ini tentunya menjadi PR umat Islam semua, untuk melakukan counter propaganda, dengan terus menunjukkan sikap yang ramah , menolak sikap yang mengedepankan kekerasan dalam menyikapi perbedaan, merasa paling benar, teror, dan turut serta dalam memecahkan dan mengatasi problem-problem kemanusiaan dunia. disamping juga menunjukkan bahwa ajaran-ajaran alQur’an merupakan ajaran yang ‘rahmatan lil’alamin, yang tentunya ramah dan jauh dari sikap memaksakan kehendak, penuh kasih saying dan kemanusiaan.
- Toleransi Dalam al-Qur’an.
Secara etimologi toleransi berasal dari kata tolerare (Bahasa Latin) yang berarti saling menanggung dan memikul. Berarti toleran diartikan sebagai sikap saling memikul walau pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat [1]. Kata toleran ini lebih kental unsur sosiologisnya daripada teologisnya. W.J.S Poerwadarminto menyatakan bahwa toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.[2] Ada pun menurut dewan penulis Ensiklopedia Indonesia, toleransi dalam konteks sosial politik, adalah sikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu keyakinan yang berbeda, sikap seperti itu sebagai pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia.[3]Dalam bahasa Arab kata yang mirip dengan arti toleransi ini adalah ikhtimal dan tasammuh, maknanya adalah sikap membiarkan, lapang dada. Kata tasamuh itu sendiri terambil dari kata samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma.[4]
Di dalam memaknai toleransi ini terdapat dua penafsiran tentang konsep tersebut. Pertama, penafsiran yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Sedangkan, yang kedua adalah penafsiran yang menyatakan bahwa toleransi tidak cukup hanya sekedar tidak menyakiti, tetapi harus ada sikap ingin memberi bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.[5]
Merujuk pada istilah Toleransi yang dalam istilah bahasa Arab Tasamuh, kata tasamuh ini. Al-Qur’an hakekatnya tidak ditemukan menggunakan istilah ini, dengan kata lain tidak ada istilah tasamuh maupun kata derivatifnya dalam al-Qur’an. Namun bukan berarti alQur’an tidak mengandung sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan. Bahkan alqur’an diberbagai ayatnya menjelaskan hakekat perbedaan ini, dan ajaran bagaimana sikap seharusnya seorang muslim dalam menghadapi perbedaan, baik perbedaan gender, ras, warna kulit, budaya, sikap terhadap muslimlain, antar agama dan sebagainya:
- Hakikat dan tujuan penciptaan yang berbeda-beda.
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menegaskan bahwa hakikat atau tujuan diciptakan Allah berbeda beda tidak lain sebagai sarana, Ta’arafu, agar kalian saling kenal mengenal. Taaruf berasal dari kata ta’arafa – yata’arafu yang artinya saling mengenal, dengan demikian dengan adanya perbedaan agar kita dapat saling berinteraksi, saling memahami, saling bertukar informasi (pengetahuan) budaya, sehingga kemajuan manusia bisa dicapai, sungguh ajaran alqur’an ini jauh dari sifat kekerasan dan pemaksaan kehendak, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang semestinya bukan hanya dihormati, tetapi juga berinteraksi, sosialisasi, saling mengenal dan berbagi pengetahuan sehingga menjadi pemicu kemajuan peradaban manusia. dan menegaskan bahwa, sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah Ketaqwaannya. Suatu penegasan bahwa, keragaman tersebut bukanlah ajang menunjukkan sikap superioritas atas yang lain, dan kemuliaan tidak ditentukan oleh berbagai atribut perbedaan tersebut, melainkan ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah, suatu ungkapan yang tersemat adanya dorongan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan, ketakwaan, karena kebaikan itulah justeru yang menunjukkan kemuliaan seseorng ataupun suatu kaum ataupun agama. Sungguh indah dan penuh muatan nilai-nilai Kalam Ilahi ini.
- Toleran Intern Umat Beragama (Sesama Muslim).
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat: 10).
Seringkali perbedaan mazhab, perbedaan tata cara beribadah, perbedaan organisasi, menyebabkan sikap intoleran pada saudara sesame muslim sendiri, bahkan sampai pada sikap takfir, penghujatan atau pengkafiran pada kelompok yang lain, dengan ayat ini Allah SWT mengingatkan bahwa sesungguhnya Mukmin itu bersaudara, persaudaraan dengan ikatan tauhid ikatan dua Kalimah syahadah, Lailaha illaallah Muhammad rasulullah, dengan mengingat ayat ini, kaum muslimin hendaknya menjauhi perpecahan dan memusushi saudara muslim lainnya, berlakulah sebagaimana sesame saudara, penuh kasih saying. Dan adanya perbedaan hendaklah disikapi secara bijak selayaknya berbeda antar saudara.
- Toleransi dan tak ada paksaan terhadap agama Lain.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (Muhammad): ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukku agamaku’.” (QS Al-Kafirun: 1-6).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa, surat ini adalah surat penolakan (baraa’) terhadap seluruh amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan yang memerintahkan agar kita tujuan maupun bentuk dan tata caranya. Karena setiap bentuk percampuran dsini adalah sebuah kesyirikan, yang tertolak secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni.[6] Secara umum, surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama ikrar pemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (tauhid ibadah), kedua ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Kemudian QS. Al-Kafirun ini ditutup dengan pernyataan secara timbal balik, yaitu untukmu agamamu dan untukku agamaku. Dengan demikian, masing-masing pemeluk agama dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik sesuai dengan keyakinannya tanpa memaksakan pendapat kepada orang lain dan sekaligus tidak mengabaikan keyakinan masing-masing serta akan dipertanggungjawabkan masing-masing dihadapan Allah.
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.
Siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan: janganlah memaksa seorangpun untuk masuk islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan sesorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dadanya, dan ternag mata hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.[7]
Kebebasan memeluk agama atau beragama sebagai salah satu hak yang essensial bagi kehidupan manusia, karena kebebasan untuk memilih agama datangnya dari hakekat manusai serta martabat sebagai mahluk ciptaan Tuhan, bukan dari orang lain atau dari orang tua, untuk itu di dalam menganut atau memilih suatu agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun.
Demikianlah ayat ini, menegaskan bahwa, tidak ada paksaan dalam beragama, ataupun memaksakan agar memeluk agama tertentu. Memeluk suatu agama merupakan hak manusia, kebenarannya haruslah diterima dengan suka rela, tanpa paksaan, suatu kebenaran itu nyata, maka tentunya ia dapat diterima dengan sukarela, tak perlu ada paksaan, demikian ayat ini menjelaskan. Suatu sikap yang toleran tanpa mengandung suatu paksaan, bahkan terhadap sesuatu yang dianggap benar sekalipun, agama, Allah tidak menganjurkan untuk dipaksakan.
Ini jelas menunjukkan ajaran yang penuh tasamuh, toleran, dan ini menepis tudingan-tudingan bahwa ayat-ayat al-qur’an mengandung sikap intoleransi dan penuh pemaksaan, bahkan sebaliknya sangat menghormati perbedaaan dan hak-hak manusia untuk memilih.
- Reaktualisasi Nilai-nilai Toleransi Alqur’an.
Alqur’an yang merupakan kitab yang diwahyukan oleh Allah SWT, adalah sumberpokok ajaran kaum muslimin. Menilik pada ajaran-ajaran yang telah dikemukakan terkait toleransi, sungguh menunjukkan bahwa ajaran al-Qur’an penuh toleransi, tidak mengandung unsur paksaan bahkan untuk memeluk pada sesuatu yang dianggapnya mutlak benar, yaitu agama Islam.
Umat Islam saat ini merupakan kelompok yang paling sering dicitrakan sebagai umat intoleran, mengedepankan kekerasan, pemaksaan, bahkan terror. Citra ini tentu bukan tanpa sebab, kegiatan sejumlah terror, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam, yang puncaknya adalah kejadian 11 september, turut andil dalam membentuk citra Islam dimata Dunia. Belum lagi sejarah sejumlah pemimpin Pemerintahan Islam yang Despot, korup, dan lalim, yang melandaskan tindakannya atas nama Islam turut memperburuk citra Islam Dunia, terutama barat. Hingga melahirkan gerakan Islamophobia dinegara-negara eropa, yang isunya masih kita dengar sampai saat ini.
Melihat kondisi tersebut, Upaya reaktualisasi nilai-nilai toleransi al-Qur’an, tentunya mendesak untuk terus digaungkan saat ini. reaktualisasi adalah proses, perbuatan mengaktualisasikan kembali. penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi dalam rangka mengaktualisasikan nilai-nilai toleransi alQur’an, Pertama; tantangan dari dalam umat Islam sendiri. Yakni, minimnya pemahaman nilai-nilai toleransi yang ada dimasyarakat, Meskipun hampir semua masyarkat mengakui adanya kemajemukan sosial, tapi dalam kenyataannya, permasalahan intoleransi baik dalam hubungan ras, etnis, suku, maupun agama, masih sering muncul dalam suatu masyarakat di dunia. Terkadang, konflik ini didominasi langsung oleh agama dan ras, seperti dalam konflik Palestina-Israel[8].
Oleh karena upaya Optimalisasi berbagai sarana dan media dalam rangka memberikan kesadaran umat akan nilai-nilai toleransi dalam alqur’an, harus terus dilakukan. Sekaligus menolak upaya-upaya kelompok yang menggunakan identitas agama, dalam melakukan sikap pemaksaan atau intoleran lainnya. Kemajemukan merupakan keniscayaan dan suatu hukum alam yang tak akan pernah bisa dirubah ataupun dilawan. Masyarakat majemuk tentu memiliki aspirasi dan budaya yang beranekaragam, mereka memiliki kedudukan yang setara, tidak ada perbedaaan antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya[9] Dalam kemajemukan ini sikap yang paling ideal adalah sikap toleran antar sesama agama Islam yang beda aliran, maupun dengan agama lainnya.
Kedua Adalah Tantangan dari Luar, yakni citra buruk intoleran yang kadung melekat pada Islam, bahkan baru-baru ini pemerintah Prancis, tidak jadi mengesahkan larangan gerakan Islamophobia di negaranya, atau dengan kata lain Gerakan Islamophobia merupakan gerakan yang legal dinegara tersebut. Upaya menghapus citra buruk tersebut, sudah semestinya kaum muslim lebih mengedepankanlagi sikap toleran dimata dunia, sikap menghormati perbedaan, bahka turut serta berpartisipasi dalam memberikan solusi yang diakibatkan diskriminasi oleh perbedaan, baik gender, suku ras, bahkan agama. Ini sekaligus dapat menepis tudingan pada alqur’an itu sendiri yang dianggap sebagai sumber prilaku kaum muslim yang intoleran dan mengandung kekerasan.
Konflik dan semacamnya yang ditimbulkan oleh kurangnya toleransi dalam berbudaya dan beragama baik dalam skala nasional maupun internasional mengalami eskalasi yang cukup tajam. Konflik yang terus menajam itu ditimbulkan oleh sikap eksklusif kelompok, serta pada saat yang sama kurang mampunya mereduksi deversitas ke dalam penyeragaman sesuai dengan keinginan kelompok itu sendiri [10],
Pada akhirnya Etika yang harus dilakukan dari sikap toleransi setelah memberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain, dengan pengertian menghormati keragaman dan kepercayaan yang ada, baik yang dilindungi oleh negara maupun yang tidak dilindungi dalam artian yang pemeluknya sedikit. Setiap agama mengandung ajaran klaim eksklusif yaitu mengaku agama yang dipeluknya adalah suatu agama yang paling benar (truth claim).[11] Keyakinan tetang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif persolan oleh setiap pemeluk agama, ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda etika akan dimaknai dan dibahasakan. Ketegangan-ketegangan dua kubu yang berbeda sering terjadi sampai sekarang, hal ini disebabkan truth claim atau klaim kebenaran diletakkan bukan hanya sebatas ontologis metafisis saja tetapi melebar memasuki wilayah sosial politik. Kenyataan ini menjadikan stagnasi bagi peran agama untuk memperjuangkan nlai-nilai kemanusiaan. Kondisi semacam ini diperburuk oleh pemeluk agama yng menyibukkan diri pada masalah eksoteris dan identitas, lahirnya agma merupakan nilai-nilai spiritual yang mendasar dari kandungan ajaran agama-agama. Agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an, adalah agama yang membawa misi rakhmatan lil alamin. Oleh karena itu ajarannya adalah ajaran toleran atau penuh dengan tenggang rasa mendorong kebebasan berfikir dan kemerdekaan berpendapat, serta saling memperhatikan kepentingan semua pihak dan saling mencintai diantara sesama manusia.
Sikap mampu menerima perbedaan, dan berinteraksi secara social, bekerjasama tanpa menjadikan perbedaan sebagai penghalang, hal inilah yang dinamakan Toleransi, sedangkan sikap sebaliknya dikenal sebagai sikap Intoleran. Sikap yang berlawanan dengan sikap toleran atau intoleran inilah yang saat ini menjadi sebuah kata yang menjadi momok umat Islam, baik secara global maupun nasional. Umat Islam distreotipe kan sebagai kelompok yang tidak mampu hidup ditengah keberagaman, gemar memaksakan kehendak, terror dan melakukan pemaksaan terhadap kelompok lain. Akibat ulah segelintir orang, melakukan teror dengan mengatasnamakan agama, citra Islam menjadi buruk dimata dunia, secara global, Citra Intoleran inilah yang menjadi salah satu factor munculnya ‘Islamophobhia” dikalangan Negara-negara barat, dan bahkan di negeri Indonesia, gerakan Islamophobia ini turut dianut oleh beberapa kalangan, di Negara yang notabene merupakan Negara Muslim.
Alqur’an itu sendiri pada dasarnya mengajarkan sikap yang penuh toleran, saling mengasihi, tidak ada paksaan dan kekerasan dalam hal apapun, perbedaan disikapi alqur’an sebagai sebuah keniscayaan, bahkan taka da paksaan dalam agama sekalipun. Ajaran yang ramah ini tentu patut diaktualisasikan dalam kehidupan. Agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an, adalah agama yang membawa misi rakhmatan lil alamin. Oleh karena itu ajarannya adalah ajaran toleran atau penuh dengan tenggang rasa mendorong kebebasan berfikir dan kemerdekaan berpendapat, serta saling memperhatikan kepentingan semua pihak dan saling mencintai diantara sesama manusia.
[1] S. H. Siagian, Agama-Agama di Indonesia, Semarang: Satya Wacana, 1993. 115
[2]W.J.S. Poerwadawarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesa, Jakarta, Balai Pustaka, 1986, 1084
[3]Dewan Ensiklopedia Indonesia, Ensiklopedia Indonesia, Jilid 6,(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, t.th, 3588
[4]A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, 702.
[5]Maskuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001, 13
[6]Abu al-Fida Ismail ibn Katsir Ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz. VII, Beirut: Darul Fikr. 1997, 507.
[7]Abu al-Fida Ismail ibn Katsir Ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz I, 383.
[8]Masykuri Abdillah, “Pluralisme dan Toleransi” dalam buku Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Kompas, 2001,12.
[9]Zuhari Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007, 46
[10] Abd. A’la, “Menolak Homogenitas, Mengembangkan Pluralisme Agama” dalam buku Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002,33.
[11]Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pemikiran Nurcholish Muda, Bandung: Mizan, 1993, 237.