Memahami Perempuan
Oleh: H.M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil LBM PWNU DKI
Dosen PAI Universitas Indonesia (UI)
Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Keberadaan perempuan hingga kini memang masih menyisakan beraneka tatapan. Perempuan masih kerapkali dipandang sebagai subordinat laki-laki. Ini disebabkan oleh budaya, tradisi maupun tafsir keagamaan. Ketika Pemilu misalnya, selalu saja ribut soal kepemimpinan perempuan. Terlebih, munculnya kelompok-kelompok muslim puritan yang saat ini tengah menjamur pastikan saja lebih kaku lagi dalam menempatkan perempuan pada posisi superketat semisal tak boleh menjadi pemimpin.
Tatapan Klasik
Dalam pemaparan kitab kuning misalnya, masih memunculkan kritisasi menyangkut bias jender. Soal pembedaan antara perempuan (muannats) dan laki-laki (mudzakkar) dalam kitab kuning sudah terlihat pemahaman yang timpang. Dari struktur bahasa, bahasa Arab sudah terlihat seksis. Bahasa Arab sebagai bahasa kitab kuning membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam semua jenis suku kata, yakni kata benda (isim), kata kerja (fi’il) maupun kata sifat (na’at wa man’ut). Ini memberikan pemahaman betapa tingginya kesadaran jenis kelamin dalam kitab kuning.
Yang menarik adalah adanya klaim bahwa pada dasarnya semua suku kata adalah laki-laki (mudazakkar), kecuali dapat membuktikan bahwa “dirinya” adalah perempuan (muannats). Dari klaim ini, lahirlah eksistensi yang tersebut pertama haruslah melebur ke dalam yang tersebut kedua. Taruhlah, misalnya suku kata al-nas. Secara harfiah, suku kata yang berarti “manusia’ dan mencakup bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, oleh bahasa kitab kuning diperlakukan sebagai laki-laki (mudzakkar). Juga, contohnya untuk kata ganti orang ketiga jamak, untuk perempuan dipakai hunna, sedang untuk laki-laki dipakai hum. Atau kata ganti jamak orang kedua, bagi perempuan kunna, bagi laki-laki kum. Tetapi, dalam bahasa kitab kuning, apabila dikehendaki menyebut kata ganti jamak bagi laki-laki dan perempuan, dipakailah kum atau hum, yang pada dasarnya menunjuk laki-laki.
Ini baru soal bahasa. Dari maskulinitas bahasa, merembet dalam tatapan semisal tentang perkawinan dan seks. Dalam kitab, Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali menyinggung tentang syahwat. Al-Ghazali memuji syahwat karena dua hal, yaitu memotivasi orang berebut ke surga dan menjadi landasan wadah keberlangsungan keturunan. Menurutnya, jika seseorang merasakan kenikmatan seks sebagai puncak dari keseluruhan kenikmatan dunia, ia akan berfikir bahwa di surga ada yang lebih nikmat lagi yang perlu diraih dan direbut. Kata al-Ghazali,”Seorang laki-laki ketika penisnya ereksi, ia telah kehilangan dua pertiga pertimbangan akalnya.” Makanya, saluran yang paling baik adalah lewat perkawinan. Bagaimana tentang perkawinan? Al-Ghazali mengibaratkan bahwa perkawinan adalah sejenis perbudakan. Istri ibaratnya adalah budak yang harus tunduk total kepada suaminya. Suamilah yang menjadi pemilik sah yang berhak meminta pelayanan kepada istrinya sejauh bukan untuk kemaksiatan.
Dalam kitab kuning, banyak anjuran yang ditimpakan kepada perempuan, tetapi tidak buat laki-laki. Kekuasaan penuh suami tertuju tidak hanya pada urusan keseharian istri, melainkan juga menyentuh soal keagamaan. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Minhaj al-Qawim misalnya, menyebutkan bahwa yang boleh dilakukan istri tanpa persetujuan suami hanya pada puasa Arafah dan Asysyura.
Tumpukan perintah dan larangan bagi perempuan ini agaknya bermuara pada anggapan bahwa “perempuan adalah penggoda”. Dalam bahasa fikih, tubuh perempuan adalah fitnah dan sensualitasnya mengancam (dharar). Kata Nawawi al-Bantani dalam Uqud al-Lujain seraya menyitir sebuah Hadits,”Perempuan adalah perangkap bagi setan untuk menggoda manusia. Andaikata syahwat ini tidak ada, niscaya perempuan tidak punya kuasa di mata laki-laki.” Sampai-sampai pula, ada “etiket” seperti ditulis dalam kitab Mizan al-Kubra karya Abu al-Wahab ibn Ahmad al-Anshori bahwa laki-lakilah yang diperkenankan melihat kemaluan istrinya dan bukan sebaliknya.
Beda dengan perempuan, seksualitas laki-laki cenderung dimanjakan. Ada tafsiran terhadap al-Quran surah al-Baqarah ayat 286,”Ya Tuhan kami, janganlah kami dibebani dosa dari sesuatu yang di luar kuasa kami”. Ayat ini ditafsirkan sebagai ungkapan aagresifitas nafsu seks laki-laki. Ada lagi, seperti tafsiran Ibnu Abbas terhadap surah al-Falaq ayat 3 yang berbunyi,”Dan aku berlindung dari sesuatu yang memaksa ketika gelap gulita” dengan tafsiran sebagai ereksi penis dan sebagian mengartikan penis ketika masuk ke liang vagina.
Namun, pandangan tentang kesejajaran perempuan dan laki-laki bukan tidak ada sama sekali dalam kitab kuning. Yakni, ketika mereka memandang bahwa kedua makhluk itu dari kacamata spiritualitas ketuhanan. Dalam dunia tasawuf, konsep berpasangan (azwaj) dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, Tuhan Yang Maha Mandiri di mana segala sesuatu tergantung kepada-Nya (Allahu Ahad, Allah al-Shamad), dianggap sebagai Zat Yang Wajib Wujudnya (wajib al-wujud). Sementara, makhluk-Nya disebut zat yang mungkin wujudnya (mumkin al-wujud), karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya. Dicontohkan langit dan bumi. Langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah). Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Ibnu Arabi juga mengumpamakan langit dengan suami dan bumi sebagai isteri. Jika langit menurunkan airnya kepada bumi, maka akan lahirlah berbagai makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula, pemancaran air sperma yang masuk ke dalam rahim perempuan, menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim dan selanjutnya lahirlah manusia. Allah menjadikan bumi bagaikan isteri dan langit bagaikan suami. Langit memberikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui “hubungan suami-isteri”.
Pandangan Al-Quran
Al-Quran sendiri sesungguhnya sangat peduli terhadap kedudukan perempuan. Yang begitu menakjubkan dari al-Quran adalah tidak adanya penggambaran perempuan secara fisikal. Tidak ada satu ayatpun yang melukiskan “keindahan” perempuan secara jasmaniah. Perempuan cantik tidak menjadi tokoh dalam pewartaan al-Quran. Bila menggambarkan hubungan jasmaniah-dalam kaitannya dengan praksis syariat-antara perempuan dan laki-laki, al-Quran menggunakan kata-kata halus seperti “bersentuh dengan perempuan” (4;43), “bercampur dengan perempuan” (2;187) atau “datangilah ladang kamu sekehendak kamu” (2;233).
Kata al-nisa’ disebut dalam al-Quran sebanyak 57 kali, lebih dua kali dari kata al-rijal. Penyebutan ini paling sering dalam hubungannya dengan ketentuan hukum-hukum pernikahan, hukum waris, hukum yang menyangkut hubungan suami-istri, hak perempuan untuk memperoleh hasil kerjanya, hukum ibadah, etika berbusana, etika pergaulan diantara perempuan dan antara laki-laki dan perempuan.
Al-Quran sering menambahkan kata ganti genetif pada al-nisa’, seperti nisa-akum, nisa-ana, nisa-ahum, nisa-ahunna. Ini untuk menegaskan perempuan sebagai anggota komunitas yang lebih luas. Perempuan, misalnya diikutsertakan dalam proses pembuktian kebenaran (mubahalah), dilibatkan dalam proses hukum ketika ketika terjadi penindasan masyarakat.
Apabila, ta’ ta’nits (untuk menunjukkan jenis perempuan) ditambahkan pada isim fa’il (kata benda pelaku), atau kata laki-laki (al-dzakar) dan kata perempuan (al-untsa) disebutkan bersama-sama, ini sesungguhnya al-Quran hendak menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan perlakuan terhadap tindakan laki-laki dan perempuan.
Al-Quran secara khusus membicarakan jenis-jenis perempuan berdasarkan amalnya. Kadangkala, al-Quran menunjuk nama secara jelas, jika perempuan yang dilukiskannya adalah perempuan ideal. Untuk melukiskan perempuan yang “buruk”, al-Quran tidak pernah menyebut nama secara langsung.
Maryam disebut dengan gamblang beberapa kali. Sebuah surah bahkan memakai nama Maryam. Maryam adalah tipe perempuan yang saleh, ibu dari Nabi Isa (3;45). Maryam menjaga kesucian dirinya, mengisi waktunya dengan pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Akhirnya, ia memikul amanah untuk mengasuh dan membesarkan kekasih Tuhan, Isa putera Maryam (19;16-34). Maryam jelas dilukiskan sebagai wanita saleh yang sukses menjaga kesuciannya, dan bukan lantaran kecantikannya.
Al-Quran kemudian menyebut tipe perempuan pejuang. Ia hidup dibawah suami yang melambangkan kezaliman. Ia memberontak kepadanya. Ia melawannya dan ia mempertahankan keyakinannya apapun resiko yang bakal diterimanya. Semuanya ia lakukan, karena memilih rumah di surga yang diperoleh dengan perjuangan menegakkan kebenaran, ketimbang istana di dunia yang dapat dinikmatinya, bila ia mau bekerjasama dengan kezaliman. Al-Quran tidak menyebutkan namanya. Hadits-hadits menyebutkannya sebagai Asiyah binti Mazahim.
Sebagai lawan dari “perempuan Firaun” adalah “perempuan Abu Lahab”. Ia bekerjasama dengan suaminya untuk menentang kebenaran, menyebarkan fitnah keji dan melakukan tindakan zalim. Ia dilukiskan oleh al-Quran sebagai pemikul kayu bakar, sebuah metafora untuk menggambarkan tipe perempuan yang pekerjaannya memberikan kayu bakar untuk menyalakan api penindasan. Inilah tipe perempuan sebagai pendamping tiran.
Al-Quran memuji perempuan yang membangkang kepada suami yang zalim. Seayun itu, al-Quran mengecam perempuan yang menentang suami yang memperjuangkan kebenaran. “Allah membuat contoh bagi orang kafir perempuan Nuh dan perempuan Luth. keduanya berada dalam perlindungan dua hamba kami yang saleh. Mereka mengkhianati keduanya. kedua suaminya tidak bermanfaat apapun baginya dihadapan Allah. Dikatakan kepada mereka, masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk ke situ (66;10).
Terakhir, ada satu tipe lagi perempuan dalam al-Quran. Sebut saja, sebagai tipe penggoda. Tipe ini diceritakan Tuhan ketika berkisah tentang Yusuf (12;23-34). Dalam hubungan dengan merekalah, al-Quran menunjukkan kepandaian perempuan untuk melakukan makar atau tipuan.
Nah, simpulannya bahwa al-Quran secara jelas dan tegas menyampaikan berbagai tipe perempuan. Pastinya, bukan tertuju pada soal kecantikan, melainkan pada amaliah atau perilakunya. Secara eksistensial, perempuan ditandaskan oleh al-Quran memiliki independensi terhadap laki-laki. Perempuan diperintahkan menentang suaminya, bila suaminya melakukan kezaliman. Sebaliknya, bila ia menentang suaminya yang memperjuangkan kebenaran, betapapun tinggi kedudukan suaminya dihadapan Allah, suaminya tidaklah dapat membantunya.
Al-Quran tidak pernah memperlakukan perempuan secara diskriminatif. Al-Quran memberikan identitas dan nilai-nilai ideal yang harus dianut oleh perempuan Mukminat.
Benar kata Roger Geraudy, intelektual asal Perancis yang tadinya ateis dan penganut Marxisme, kemudian beralih memeluk Islam,”Tidak ada satupun dalam al-Quran yang dapat dijadikan sebagai pembenar praktik apartheid terhadap kaum perempuan yang sekarang ini tengah merajalela di berbagai negara Muslim. Diskriminasi ini muncul dari tradisi Timur Dekat tertentu dan bukan dari Islam.”