JAKARTA – Ibadah puasa bukan menjadi ritual baru dalam sejarah umat manusia. Sebelum datangnya Islam, umat-umat terdahulu paling tidak penganut agama samawi telah menjalankan tradisi ini
Dalam Alquran disebutkan pula kewajiban berpuasa dilakukan sebagaimana yang telah dijalankan umat terdahulu. Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dalam Fiqh ash-Shiyam, Syekh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan perintah puasa di bulan Ramadhan mulai diwajibkan ketika di Madinah pascahijrah. Begitu pula dengan sebagian besar syariat Islam lainnya.
Saat Rasullullah SAW berada di Makkah merupakan periode penanaman akidah dan pengukuhan prinsip-prinsip tauhid, iman, serta akhlak yang ditanamkan dalam akal pikiran juga hati. Selain juga sebagai pembersihnya dari noda-noda jahiliyah yang mengotori akidah, pemikiran, akhlak, serta tingkah laku.
Adapun setelah peristiwa hijrah, umat Islam menjadi satu entitas dan jamaah yang khas. Oleh karenanya dalam Alquran banyak ayat yang diserukan dengan kalimat:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
Wahai orang-orang yang beriman”
Berkenaan dengan ini, Syekh Manna Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an menjelaskan sebagian ulama berpendapat indikator di atas merupakan salah satu ciri perbedaan ayat makki (yang diturunkan di Makkah) dan ayat madani (yang turun di Madinah).
Para ulama yang berpendapat demikian menyatakan bahwa ayat Alquran yang mengandung seruan yâ ayyuhan nâs (wahai manusia) adalah makki. Sedangkan ayat yang mengandung seruan yâ ayyuhal ladzîna âmanû (wahai orang-orang beriman) adalah madani.
Dengan melihat kewajiban puasa dengan kajian ilmu Alquran, tentu keduanya memiliki kaitan satu sama lain. Hal ini juga yang memperkuat bahwa perintah kewajiban berpuasa turun pascaperistiwa hijrah.
Pada periode Makkah, tidak ada syariat selain shalat lima waktu, sebab ibadah ini memiliki beberapa urgensi spesifik. Shalat diisyaratkan di malam Isra di tahun kesepuluh masa kenabian, sebagaimana yang dirujuk dari pendapat yang masyhur.
Syekh Yusuf al-Qardhawi menyebut bahwa setelah lima tahun atau lebih peristiwa tersebut terjadi, maka turunlah kewajiban berpuasa Ramadhan . Perintah ini turun pada tahun kedua Hijriyah.
Pada tahun ini pula jihad fî sabilillah diisyaratkan. Ketika Rasulullah wafat, umat Islam telah melalui Ramadhan sebanyak sembilan kali.
Selain itu, dalam bukunya Syekh Yusuf al-Qardhawi mengutip pendapat dari Ibnu al-Qayim dalam Zâd al-Ma’âd yang berkata:
“Memisahkan jiwa dari sesuatu yang telah menjadi kegemarannya dan telah menyatu dengannya adalah pekerjaan yang paling berat dan sulit, karenanya kewajiban puasa diakhirkan ke periode pertengahan, hingga setelah hijrah. Ketika telah tertanam kualitas tauhid, shalat, dan perintah-perintah Alquran dalam jiwa maka dia diarahkan untuk berpuasa secara bertahap.”
Sejatinya syariat puasa yang Allah SWT wajibkan bagi umat Islam, semata-mata untuk meraih tingkat ketakwaan yang sempurna. Isyarat ini sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 183 sebelumnya.
Terlebih tradisi berpuasa bukanlah hal yang baru. Syariat-syariat yang diyakini dan dijalankan oleh umat terdahulu merupakan bentuh kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya agar mampu menahan diri, mengendalikan syahwat hewani seperti makan, minum, dan kebutuhan seks serta menjauhi segala perbuatan dosa.
Hal tersebut penting dilakukan, sebab nafsu hewani kerap mengeksploitasi manusia, yang pada akhirnya semakin menjauhkan mereka dari kasih sayang pencipta. Dalam konteks ini, puasa menjadi bekal agar seorang muslim mampu mengendalikan nafsunya. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia, ed: Nashih).