Boleh dibilang ketentuan puasa di bulan Sya’ban cukup rumit dan sedikit membingungkan. Beredar kabar di masyarakat bahwa puasa di bulan Sya’ban dianjurkan, akan tetapi, ada pula pendapat yang menyatakan puasa di paruh kedua bulan Sya’ban itu tidak boleh.
Hal tersebut wajar karena ternyata kedua pendapat di atas berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Pendapat pertama datang dari hadist yang mengisahkan di mana apabila telah datang bulan Sya’ban, Rasulullah hampir setiap hari berpuasa.
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا.
Dari Abu Salamah ia berkata, saya pernah bertanya kepada Aisyah Ra. tentang puasa Rasulullah SAW, maka ia pun berkata, ‘Rasulullah SAW sering berpuasa hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa seterusnya. Dan beliau sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengira beliau tidak puasa terus-menerus. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadist di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya kita tidak boleh melewatkan satu bulan pun tanpa berpuasa sama sekali.
Hadist tadi juga menunjukkan Rasulullah sering berpuasa di bulan Sya’ban, hanya sedikit hari yang dilalui oleh Nabi SAW di bulan Sya’ban tanpa berpuasa. Hikmah di balik puasa Rasul di bulan Sya’ban karena amalan hamba selama setahun penuh diangkat di bulan ini. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj, juz 8 hlm. 37)
Namun, di sisi lain terdapat hadist Nabi SAW yang menyatakan tidak boleh berpuasa ketika memasuki paruh kedua bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا
Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila telah memasuki paruh kedua bulan Sya’ban, maka kalian tidak boleh berpuasa!” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad)
Kebanyakan ulama madzhab Syafi’i dengan adanya hadist ini menghukumi haram puasa di separuh akhir bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir. Tapi, keharaman tersebut tidak berlaku di beberapa kondisi.
Setidaknya ada tiga situasi di mana puasa di paruh kedua bulan Sya’ban hukumnya boleh.
Pertama, puasa di separuh akhir bulan Sya’ban dibarengi dengan puasa di hari sebelumnya. Jadi, bila seseorang berpuasa sejak tanggal 15 kemudian lanjut ke tanggal 16, 17 sampai akhir bulan Sya’ban, maka itu tidak haram.
Kedua, bila puasa di paruh kedua bulan Sya’ban sesuai dengan jadwal puasa seseorang yang memang sudah terbiasa berpuasa di hari itu. Misalnya orang yang terbiasa puasa hari Senin dan Kamis tetap boleh melaksanakannya walau hari Senin dan Kamis itu memasuki separuh akhir bulan Sya’ban.
Ketiga, bila puasa yang dilaksanakan adalah puasa nadzar, qadla, atau kafarat. Jadi, terutama untuk perempuan, boleh hukumnya berpuasa di paruh kedua bulan Sya’ban bila puasa tersebut adalah ganti atau qadla dari puasa Ramadan. (Abu Bakar Syatha ad-Dimiyati, I’anatut Thalibin, juz 2, hlm. 309)
(Ilham Fikri/Angga)