Data Kependudukan pada 2010 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 menunjukkan sekitar 13 juta Muslim di Indonesia telah tergolong mampu beribadah haji akan tetapi mereka lebih memilih menunda daftar haji.
Melihat fakta ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 pada 2020 menerbitkan fatwa tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu. Lantas bagaimana hukum orang yang menunda haji padahal sudah mampu berdasarkan fatwa MUI?
Hukum haji
Ulama telah bersepakat setiap Muslim setidaknya wajib melaksanakan haji sekali seumur hidupnya. (Wahbah al-Zuhaili, //al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,// juz 3, hlm 14). Kewajiban ini berdasarkan Alquran dan sunnah. Ayat yang menjelaskan kewajiban haji adalah firman Allah SWT:
…وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu) mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (Ali Imran [3]: 97)
Sementara dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَاالَ : ” أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا “. فَقَالَ رَجُلٌ : أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ ووَسَلَّمَ : ” لَوْ قُلْتُ نَعَمْ ؛ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ…ثُمَّ قَالَ :… ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ، فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ،…”
“Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu, tunaikanlah ibadah haji.” Kemudian seorang laki-laki bertanya, “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” beliau terdiam beberapa saat, hingga laki-laki itu mengulanginya hingga tiga kali. Maka beliau pun bersabda, “Sekiranya aku menjawab, ‘Ya’ niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya. Kemudian Nabi SAW bersabda:… bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, laksanakanlah sebisa-bisanya,…” (HR Muslim, al-Nasai, dan Ahmad).
Wajib haji bagi sudah mampu, harus segera atau boleh ditunda?
Terkait hal ini, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan sebagian pendapat ulama pengikut Madzhab Maliki mewajibkan pelaksanaan haji sesegera mungkin bagi mereka yang sudah mampu. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 3, hlm 16)
Bila mengikuti pendapat ini, dalam konteks kekinian, maka seseorang harus segera mendaftar haji bila telah mampu.
Namun, menurut ulama pengikut Madzhab Syafi’i mereka membolehkan penundaan pelaksanaan haji bagi yang mampu.
Alasannya menurut mereka kewajiban haji telah turun semenjak tahun ke-6 setelah Hijrah, akan tetapi Nabi SAW menundanya sampai tahun ke-10 setelah Hijrah. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 3, hlm 18)
Menilik perbedaan pendapat di antara ulama, MUI dalam fatwanya mencoba berada di tengah-tengah. Fatwa MUI memutuskan kewajiban haji boleh ditunda seperti pendapat ulama pengikut Madzhab Syafi’i.
Namun demikian dalam fatwa tersebut dijelaskan sunnah bagi seseorang yang mampu agar segera mendaftar haji. Uniknya, fatwa MUI memberikan situasi di mana haji sama sekali tidak boleh ditunda-tunda dan seorang Muslim harus segera mendaftar.
Situasi tersebut bila Muslim yang sudah mampu berada dalam kondisi sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji, atau qadla untuk haji yang batal.
Bila orang yang sudah mampu berada dalam situasi tersebut, wajib hukumnya segera mendaftar haji dan haram hukumnya menunda-nunda mendaftarkan diri untuk berhaji.
Kemudian orang yang sudah mampu tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan. Terakhir, orang yang sudah mampu dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan. (Ilham Fikri, ed: Nashih).