JAKARTA – Bepergian atau berpindah tempat merupakan kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Di balik perjalanan yang mereka lakukan tersebut, terdapat berbagai kebutuhan seperti yang bersifat keagamaan, keduniaan, individual, maupun sosial.
Islam memberikan banyak perhatian khusus untuk orang yang tengah dalam kondisi bepergian (musafir). Perhatian tersebut dilakukan dalam rangka memberikan kemudahan dan keringanan bagi para musafir dalam bersuci, shalat, puasa hingga zakat.
Dari sekian banyak dispensasi yang disyariatkan Islam bagi musafir adalah berbuka puasa. Hal tersebut termaktub dalam Alquran, hadits, dan ijma’. Allah ta’ala berfirman di surah al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain…..”
Syekh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan dalam Fiqh ash-Shiyam bahwa ayat di atas menegaskan orang sakit dan musafir boleh berbuka, akan tetapi harus mengqadhanya. Dalam hadits Rasulullah mengabarkan kebolehan bagi musafir untuk memilih apakah ingin berpuasa ataupun berbuka.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, istri Nabi ﷺ, bahwa Hamzah bin ‘Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi ﷺ, “Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? Dia adalah orang yang banyak berpuasa. Maka beliau menjawab, “Jika kamu mau berpuasalah dan jika kamu mau berbukalah,” (HR. Bukhari, no. 1807).
Hadits di atas menjadi sumber rujukan bagi musafir dalam memilih puasa atau tidaknya mereka sesuai dengan kemampuan. Lalu manakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka ataukah berpuasa?
Berkenaan dengan persoalan tersebut, terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama. Adapun Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat jika sang musafir masih berada dalam kondisi kuat untuk menjalankan puasa, maka lebih utama puasa.
وَقَالَ جَمَاهِير الْعلمَاء وَجَمِيع أهل الْفَتْوَى يجوز صَوْمه فِي السّفر وَينْعَقد ويجزيه وَاخْتلفُوا فِي ان الصَّوْم أفضل أم الْفطر أم هما سَوَاء فَقَالَ مَالك وَأَبُو حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَالْأَكْثَرُونَ ان الصَّوْم أفضل لمن اطاقه بِلَا مشقة ظَاهِرَة وَلَا ضَرَر فَإِن تضرر بِهِ فالفطر أفضل
Artinya: Menurut mayoritas ulama dan semua ahli fatwa, orang musafir boleh berpuasa dan puasanya mengikat keabsahannya. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara puasa atau tidak atau masing-masing mempunyai kedudukan hukum yang seimbang bagi orang musafir? Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta mayoritas ulama menyatakan puasa lebih utama bagi orang yang kuat, tidak merasakan kepayahan. Bagi yang tidak kuat, tidak puasa lebih utama. (Lihat Syarah Ibni Majah, h. 120)
Dapat disimpulkan pendapat di atas bahwa apabila seseorang kuat berpuasa ketika dalam perjalanan, maka hal tersebut lebih utama. Akan tetapi bila berpuasa justru mendatangkan kemadlaratan manakala di perjalanan, maka diperbolehkan untuk berbuka sebagaimana keringanan yang telah Allah berikan bagi musafir.
Namun perlu diingat, seorang musafir harus memperhatikan seberapa jauh jarak yang dilakukannya saat bepergian. Ulama berpendapat, jarak yang ditentukan adalah sebagaimana jarak yang diperbolehkan seseorang mengqashar shalatnya.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai batas minumal kilometer yang ditempuh untuk mengqashar shalat disebabkan ukuran yang digunakan dalam dalil berbeda. Dalam dalil tersebut menggunakan istilah empat burud yang merupakan tradisi pengukuran bangsa Arab saat itu.
Selanjutnya jarak tersebut dikonversikan menurut ukuran Hasyimi menjadi empat puluh delapan mil dan dalam ukuran Bani Umayah menjadi empat puluh mil.
Pendapat lain datang dari Dr. Musthofa Al-Khin dalam kitab-Fiqh al-Manhaji yang mengkonversikan empat burud ke dalam ukuran kilometer yang berjumlah 81 kilometer. Walllahu’alam.
(Isyatami Aulia/Angga)