Jelang Ramadhan, kita pasti banyak disuguhi istilah metode rukyat dan hisab. Kedua metode ini merupakan tata cara penentuan awal Hijriyah yang memiliki perbedaan cukup signifikan. Apa beda antara keduanya?
Secara bahasa, rukyat berarti “melihat”, sementara dalam konteks penentuan awal bulan, rukyat berarti melihat hilal atau bulan baru di ufuk baik menggunakan mata kepala secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong.
Jadi, dalam metode rukyat, hilal atau bulan baru harus benar-benar terlihat secara pasti untuk menentukan apakah kita sudah memasuki awal bulan Ramadhan atau belum.
Sedang hisab secara bahasa berarti “menghitung” karena dalam metode hisab, penentuan awal bulan mengandalkan hitungan ilmu falak atau ilmu astronomi guna memastikan apakah hilal sudah wujud atau belum.
Jadi, dalam metode hisab, kita tidak perlu benar-benar melihat hilal dengan mata kepala secara langsung, cukup dihitung saja dengan perhitungan matematis, astronomis. Bahkan, dengan metode hisab ini, penentuan awal bulan di tahun-tahun berikutnya sudah dapat ditentukan sejak sekarang.
Dalam catatan Ibnu Rusyd (w. 595 H.) pada karyanya Bidayat al- Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, perbedaan ulama dalam memilih metode rukyat atau hisab telah terjadi sejak era sahabat nabi dan tabiin.
Menurut Ibnu Rusyd, Sahabat Ibnu Umar adalah yang memegang metode rukyat dalam menentukan awal bulan. Di sisi lain, terdapat tabiin senior bernama Mutharrif bin Syikhir yang lebih memilih menggunakan metode hisab.
Masih menurut Ibnu Rusyd, perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam memahami hadist Nabi Muhammad SAW:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Nabi ﷺ bersabda, atau Abul Qasim ﷺ telah bersabda, “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan (mendung), maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Syaban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari)
Sebagian ulama berdasarkan hadits di atas berpendapat bahwa metode penentuan awal bulan harus dengan rukyat, atau harus secara pasti melihat hilal.
Bila tidak memungkinkan, cukup menggenapkan bulan Syaban menjadi 30 hari karena kalender Hijriah tidak ada yang melebihi 30 hari.
Sedangkan sebagian ulama lain yang berpatokan pada metode hisab memandang bahwa justru karena hilal tidak terlihat oleh mata karena mendung, dan karena berkembangnya ilmu matematika dan astronomi yang menyoal peredaran benda angkasa, kenapa tidak kita hitung saja kapan hilal muncul, jadi tidak perlu repot-repot lagi melihat hilal secara langsung. (Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz 2, hlm 46)
Kedua metode di atas sama-sama berasal dari ijtihad ulama. Tidak ada yang salah dari keduanya sebagai bagian dari ijtihad. Sesuai sabda Nabi bahwa ketika seorang mujtahid benar, maka dia mendapat dua pahala, akan tetapi jika keliru, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Sementara itu, menyikapi perbedaan terkait dengan munculnya perbedaan hasil penentuan awal hilal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa no. 2 tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah mewajibkan warga negara Indonesia mentaati ketetapan Pemerintah Republik Indonesia ketika terjadi perbedaan pendapat soal awal Ramadhan. (Ilham Fikri/Angga)