Oleh: KH Abdul Muiz Ali, petugas Haji 1444 H/2023 M dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Usia yang sudah mencapai umur 60 tahun keatas, berarti ia tergolong kelompok lansia. Pada umumnya, dalam usia lansia ketahanan tubuh dan kesehatanya terus berkurang.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) dan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 kelompok lansia adalah mereka yang berumur 60 tahun atau lebih.
Penyebutan umur 60 tahun keatas sebagai kelompok lansia ada kaitannya dengan penjelasan hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut.” (HR Ibnu Majah).
Keterbatasan melaksanakan ibadah secara sempurna, selain banyak dipengaruhi umur yang sudah lanjut usia (lansia), juga bisa disebabkan karena ada risiko tinggi (risti).
Meski umurnya masih muda, tapi jika berisiko tinggi apabila banyak melakukan aktivitas-aktivitas berat, maka perlu mendapat perhatian dan pelayanan yang sama dengan mereka yang sudah lansia.
Ibadah yang membutuhkan gerakan fisik, seperti shalat, tawaf, wukuf di Arafah pada saat haji, dalam kondisi normal wajib dikerjakan dengan cara sempurna. Sementara untuk orang yang sudah lansia dan orang yang masuk kriteria berisiko tinggi, maka dalam melaksanaan ibadahnya bisa dengan cara mengambil ketentuan yang memudahkan bagi mereka.
Semangat memberikan kemudahan dalam segala hal, termasuk dalam memberikan tuntunan ibadah bagi lansia dan yang bersiko tinggi, bagian dari cerminan dari semangat moderasi dalam pengamalan ajaran Islam.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari.” (HR Bukhari)
Shalat di hotel
Shalat di Masjidil Haram sangat memiliki kemuliaan (fadilah) karena pahalanya dilipatgandakan hingga seratus ribu kali lipat dibanding dengan shalat ditempat lainnya.
وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ (رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ)
“Artinya: Dari Ibn az-Zubair ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa shalat di Masjid-ku ini lebih utama dibanding seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedang shalat di Masjidil Haram lebih utama di banding shalat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus ribu shalat.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Hadits diatas memotivasi umat Islam, khususnya para jemaah haji atau umrah untuk melaksanakan shalat di Masjidil Haram.
Bagi orang yang sehat dan tidak sedang dalam risiko tinggi, tentu hal tersebut merupakan kesempatan besar untuk mengerjakannya selama mereka berada di Masjidil Haram, baik saat ada di Makkah atau Madinah.
Namun demikian, bagi orang yang sulit karena faktor lansia atau risiko tinggi, ia boleh mengerjakan shalat di hotel.
Mereka tetap mendapatkan keutamaan pahala shalat sebagaimana di Masjidil Maram, sebab seluruh tanah haram adalah Masjidil Haram sebagaimana penjelasan sahabat Ibnu Abbas :
عن ابنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَولُه: الحَرَمُ كُلُّه هو المسجِدُ الحرامُ
“Artinya; Dari Ibnu Abbas berkata; tanah haram
seluruhnya adalah Masjidil Haram.”
Imam as-Suyuti menjelaskan, yang dimaksudkan dengan Masjidil Haram adalah seluruh Tanah Haram.
أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ
“Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah tidak dikhususkan hanya di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, halaman 523).
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ
“Mazhab Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Mazhab Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa pelipatgandaan (pahala di Tanah Haram Makkah) itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah.” ( Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, juz, 37, halaman 239).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa bagi jamaah haji/umrah yang sudah lansia atau berisiko tinggi, jika mereka tidak memungkinkan untuk shalat secara langsung di Masjidil Haram, maka sebaiknya mereka memilih shalat di hotel dan pahalanya sama dengan datang langsung shalat di Masjidil Haram.