JAKARTA – Ibadah haji merupakan rukun terakhir atau kelima dalam rukun Islam. Ritual haji tidak sekadar berkunjung ke tanah suci Makkah, melainkan juga dengan menjalankan serangkaian ibadah yang tujuannya mengingatkan manusia kepada kebesaran Allah SWT untuk mempertebal keimanan mereka.
Historis diperintahkannya ibadah haji memiliki kisah yang panjang. Sebab, hal ini tidak bisa dipisahkan dari kisah nabi sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menilik historis pra Islam ibadah haji.
Secara bahasa haji berarti menyengaja, menuju, dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji memiliki arti qashd. yaitu tujuan, maksud, dan menyengaja.
Sedangkan secara istilah, Syekh Wahbah al-Zuhailiy mendefenisikan haji sebagai perbuatan menuju ke Ka’bah untuk menjalankan perbuatan tertentu. Diartikan pula dengan berangkat menziarahi tempat tertentu (Kabah, Arafah, Mina, dan Muzdalifah) pada masa tertentu (bulan-bulan haji) untuk melakukan perbuatan tertentu (ihram, thawaf, sai, wuquf, mabit, melontar jumrah dan tahallul). (Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 3, h 2064-2065).
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada 8 Dzulhijjah saat umat Islam bermalam di Mina. Kemudian dilanjutkan dengan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Selanjutnya bermalam di Muzdalifah dan berakhir saat melempar jumrah pada tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah.
Demikianlah yang dimaksud dengan tempat, masa, serta pperbuatan tertentu yang dirujuk pada definisi dari Syekh Wahbah al-Zuhaily di atas.
Sejarah awal
Melihat dari aspek historis, ibadah haji tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah dan kisah kenabian Ibrahim alaihissalam sebagai seorang Nabi yang dikenal dengan julukan “Abu al-Tauhîd”. Ketokohan Nabi Ibrahim juga membangun pengaruh yang besar dalam sejarah agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Nashrani dan Islam.
Pendapat lain datang dari Ahmad as-Shawiy yang mengatakan jauh sebelum diutusnya Nabi Adam, para malaikat bumi beribadah di tempat itu selama dua ribu tahun. Disebutkan pula dalam riwayat lain, bahwa Allah SWT memuliakan Nabi Adam dengan sebuah kemah yang berasal dari surga.
Adapun, kemah itu diletakkan di tempat bangunan Kabah sekarang. Setelah Nabi Adam meninggal, anak-anaknya membangun sebuah bangunan dari tanah dan batu di tempat tersebut. Tapi akibat banjir bandang dan topan di masa Nabi Nuh as, bangunan itu roboh rata dengan tanah dan tidak diketahui lagi posisinya. (Lihat al-Hawi ‘Ala al-Jalalain, jilid I, h 149)
Selanjutnya, Alquran merekam peristiwa ketika masa Nabi Ibrahim diutus sebagai nabi dan rasul, yang kemudian diberi petunjuk Allah SWT untuk membawa keluarganya ke sebuah lembah tandus dan kering (Baitullah) kemudian mereka tinggal di sana. Seperti firman-Nya dalam surat Ibrahim ayat 7:
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Selanjutnya Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membangun Baitullah persis di tempat yang pernah dibangun anak-anak Adam. Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah 127:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Bangunan yang ditinggikan kembali pondasinya itupun diberi nama Kabah. Setelah selesai membangun Kabah, Allah SWT memerintahkannya untuk mensucikan tempat itu dari perbuatan-perbuatan terlarang (najis dan syirik).
Hal tersebut dilakukan untuk memberi kenyamanan kepada orang-orang yang akan thawaf, shalat, ruku, dan sujud di tempat itu. Kisah ini sebagaimana yang diabadikan dalam surat Al Baqarah ayat 125.
Selanjutnya, Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim agar memanggil orang untuk mendatangi tempat itu guna melaksanakan ibadah yang kemudian disebut dengan ibadah haji. Firman Allah SWT dalam surat Al Hajj ayat 27:
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ
“(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Merujuk pada ayat di atas, haji merupakan ibadah wajib yang telah diperintahkan sejak zaman Nabi Ibrahim. Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim agar menyeru manusia untuk mengerjakan ibadah haji ke Baitullah dan menyampaikan kepada mereka bahwa ibadah haji itu termasuk ibadah yang diwajibkan bagi kaum Muslimin. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia, ed: Nashih).