OPINI
Peduli Meratus
Oleh: KH HUSIN NAPARIN
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalsel
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah IV Kalimantan, pada tanggal 22 Dzulqa’dah 1427 H /13 Desember 2006 M di Banjarmasin memutuskan, menetapkan : a) Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat atau negara hukumnya haram. b) Semua kegiatan dan penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. c) Penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Fatwa ditandatangani para Ketua, Sekretaris dan Ketua Komisi Fatwa se-Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kaltim dan Kalsel). Hal ini ditetapkan setelah menimbang bahwa akhir-akhir ini makin maraknya penebangan liar dan penambangan tanpa izin dan bisnis illegal logging dan illegal mining; bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan melawan perundang-undangan yang berlaku.
Fatwa ini mengacu kepada sejumlah ayat Alquran, antara lain QS Al-A’raf ayat 56 yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Di dalam ayat yang lain QS Asy-Syuura ayat 30, Dia berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Fatwa ini sangat mendukung jika pemerintah Provinsi Kalsel menolak SK Kementerian ESDM yang mengizinkan PT Mantimin Coal Mining (MCM) melakukan penambangan batu bara di Kabupaten Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai Tengah. Pun juga Bapak Gubernur Sahbirin Noor, tegas menyatakan pihaknya tidak akan memberikan izin Amdal maupun IPPKH untuk perusahaan tersebut. Jika tidak ada Amdalnya maka tidak beroperasi, kita dukung untuk tidak ditambang. Beliau menambahkan, Pemprov memiliki kewenangan besar dalam operasi produksi pertambangan, pascaterbit UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. (BPost 15/1/2018, hal 1&15).
Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM dengan SK No.441.K/30/DJB/2017 telah mengizinkan PT Mantimin Coal Mining (MCM) melakukan penambangan di ketiga kabupaten tersebut; hal ini memantik penolakan dari masyarakat, para pegiat lingkungan hidup untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai peduli masyarakat Kalsel yang tidak rela kehilangan Maratus yang hijau dan indah; Yang berbenturan pula kampanye gubernur Kalsel perihal revolusi hijau, berisikan antara lain tidak lagi mengeluarkan IPPKH untuk pertambangan, fokus pada perbaikan hutan dan mendukung perbaikan hutan dan menyelamatkan pegunungan Meratus.
Dunia, bukan saja pulau Kalimantan memerlukan kehijauan. Bayangkan jika pegunungan Meratus ditambang, maka Meratussebagai atapnya Kalsel akan merubah bentang alam, adat dan budaya akan terkikis, hilangnya hutan alam penjaga lingkungan, hutan menjadi gundul, wilayah resapan air hancur, munculnya tandon air bekas galian dan tidak bisa direklamasi, dan tidak ada lagi resapan air saat hujan turun. (BPost 15/1/2018, hal 1).
Mantan Menteri LH, Hatta pun angkat bicara, antara lain katanya, “Saran saya janganlah, daerah lain sudah dibuka semua, tinggal itu saja lagi. Kalau bisa itu harus dipertahankan jangan sampai ada kegiatan tambang. Sebagian orang banyak melupakan jasa lingkungan yang sudah menghindarkan bahaya banjir, erosi dan lainnya. Kadang sebagian orang tak terpikirkan itu,” (BPost 15/1/2018, hal.1).
Apakah orang-orang pusat dengan SK Menteri nomor sekian-sekian itu atau nanti ada SK-SK lainnya yang memaksakan kehendak dan keinginannya dengan sejumlah alasan dan sejumlah karena, sehingga kita orang-orang yang hidup di bawah pusat akan menderita akibat buruknya. Memang pusat enak saja dielus-elus tapi yang menderita adalah bawah pusat. Seyogyanya pemerintah itu, yang namanya pemerintah tidak saja asal perintah tetapi harus mempertimbangkan dan mewujudkan kemaslahatan masyarakat.
Bacalah Kaidah Fiqh yang ditelorkan oleh para ulama, Tasharruful-imam ‘alarra’iyyah manuuthun bil-mashlahah, artinya, “Kebijakan (peraturan) pemerintah terhadap rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan.” (Al-Asybah wa An-Naza’ir, 134).
Masih maukah orang-orang juga mau mendengar kata para ulama? (*)
Sumber: Banjarmasin Post