JAKARTA, MUI.OR.ID— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh mengingatkan umat untuk berhati-hati dalam membagikan informasi di media sosial.
Kiai Niam menerangkan, teknologi digital tersebut memungkinkan salah satunya adanya penyampaian informasi yang disinformasi atau informasi palsu yang sengaja disebarkan.
“(Juga adanya) informasi benar diadukan dalam konteks tidak benar, melahirkan asosiasi ketidakbenaran,” ujarnya saat memberikan materi dalam Standardisasi Dai MUI di Wisma Mandiri, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
Hal itu, kata kiai Niam, yang mendasari salah satu alasan MUI untuk mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Bermuamalah di Media Sosial. Salah satu tujuannya untuk memberikan panduan bagi masyarakat mengenai distribusi atau menerima informasi.
“Terlebih hari-hari ini mulai panas atau hangat situasi percakapan disetiap grup media sosial. Diakui atau tidak, selalu ada perbincangan mengenai capres-cawepres, caleg dan koalisi-koalisi,” ungkapnya.
Kiai Niam menambahkan, tidak jarang hal itu juga menyebabkan adanya argumentasi, grafis, foto, bahkan hoax di media sosial.
Kiai Niam memberikan contoh, beberapa waktu diadakan adu gagasan untuk Bakal Calon Presiden (Bacapres) 2024 yang digelar di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Masing-masing Bacapres diberikan waktu selama 2 jam.
Pascakegiatan tersebut, di media sosial menyajikan berbagai informasi terkait pemaparan para Bacapres tersebut dengan menggunakan potongan-potongan vidio yang berdurasi mulai dari 20-30 detik hingga 1 menit.
Menurutnya, sekalipun informasi potongan vidio tersebut faktual. Tidak dapat dibenarkan secara syariah apabila hal itu hanya untuk membangun salah satu image Bacapres dengan merendahkan Bacapres lainnya.
Kiai Niam menuturkan, dalam ilmu komunikasi dikenal dengan glorifikasi dan demonisasi. Kiai Niam menjelaskan, glorifikasi adalah menyebutkan prestasi seseorang secara faktual, tetapi digambarkan seperti malaikat yang tidak memiliki kesalahan.
“Sebaliknya, demonisasi adalah menggambarkan kesalahan orang dan kemudiaan disebarkan untuk dieksploitasi secara rupa agar orang tidak memilih dan seolah-olah lebih buruk dari setan. Setan saja buruk, ini lebih buruk karena tidak ada benarnya sama sekali,” ungkapnya.
Menurutnya, bisa saja umat secara sadar maupun tidak sadar masuk pada hal itu. Sehingga, fatwa bermuamalah di medsos yang dikeluarkan MUI ini ditujukan bukan hanya bagi orang awam, melainkan untuk menginternalisasi hukum Islam dalam aktivitas bermuamalah di media sosial.
“Pembahasan ini cukup dalam dan detail. Khusus fatwa bermuamalah digital ini sangat rinci, kepentingannya ditunjukkan untuk benar-benar menjadi pedoman praktis bagi masyarakat dan dai agar memiliki literasi yang memadai,” jelasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menuturkan, dai yang memiliki peran strategis di tengah umat diharapkan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan.
Sebab, apa yang disampaikan dai akan didengar masyarakat. Jika apa yang disampaikannya terutama di media sosial salah, maka sangat sulit untuk mengkontrolnya.
Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Bermuamalah di Media Sosial ini, ujarnya, juga dijadikan media komunikasi dan edukasi oleh Kementerian Kominfo dan kementrian lainnya dalam membangun literasi digital di berbagai kalangan masyarakat.
“Dai pada hakikatnya adalah konten kreator. Menyampaikan konten dakwah, sadar atau tidak. Apalagi kalau punya tim kreatif, maka akan semakin luas sebaran dakwahnya,” paparnya.
Dalam konteks media sosial, Kiai Niam mengingatkan bahwa siapa saja bisa menulis apapun sehingga, tidak semua yang ada di media sosial itu benar. Hal itu diibaratkan lapak yang terbuka yang membuat siapapun bisa menulis sesukanya.
“Hari ini terbukti adanya pasar bebas tersebut kita berada di area tersebut. Suka atau tidak suka. Kita harus serap sebagai realitas, pilihannya kita akan menjadi fosil atau berkompromi dengan menjadi pionir membanjiri konten positif dan kreatif,” paparnya.
“Atau menjadi followers dan pengguna tapi pada saat yang sama jangan sampe tut wuri (dari belakang) terus, tapi tidak handayani (arahan),” sambungnya.
Kiai Niam menekankan, para dai harus bisa memberikan arah kepada umat agar ada produksi konten-konten dapat mengenal karakteristik media digital.
Sehingga, masyarakat bisa lebih bijak dalam penyampaian dan konten di media sosial. “Konten informasi yang baik sebagai sarana amar maruf nahi mungkar,” kata dia. (Sadam, ed: Nashih)