Oleh: KH Musthafa Helmy, Wakil Ketua Komisi LBPKI MUI
JAKARTA, MUI.OR.ID- Kitab ini ditulis dengan tujuan bisa mengkomunikasikan pikiran yang ada pada penulisnya untuk bisa dibaca siapa pun yang bermimat membacanya dan dalam bentuk buku termasuk buku elektronik (e-book). Buku dikenal di Indonesia sejak abad kesembilan dengan Serat Ramayana.
Demikian juga yang dilakukan ulama Aceh Syekh Abdurrauf Singkil yang menulis Tanbih al-Masyi dalam bahasa Arab. Buku itu tentu diarahkan bagi mereka yang mengerti bahasa Arab. Padahal, buku-buku (kitab) yang beredar saat itu adalah kitab berbahasa Melayu (Aceh) dengan tulisan Arab pegon.
Tentu, tak banyak di awal abad 17 itu orang yang bisa membaca Arab selain mereka yang pernah belajar agama terutama di Makkah. Tentu kitab ini diarahnya untuk konsumsi kalangan ulama yang saat itu sebagian besar menjadi mursyid tarekat baik Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Syaththariyah.
Aceh saat Aceh dipimpin Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah dan di awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh pada periode 1550-1605 Sultan Iskandar Muda memiliki ulama bernama Syekh Hamzah Fanshuri dan Syekh Syamsuddin Assumatrani yang membawa Tarekat Qadiriyah, namun tarekat ini dianggap mulai bergeser pemahaman pada Wujudiyah (wahdatul wujud).
Kemudian setelah Hamzah dan Syasuddin wafat dan berkuasa Sultan Iskandar Tsani (II) nasib Tarekat berubah karena muncul ulama bernama Syekh Nuruddin Araniri (I Aceh tahun 1637-1644) asal India yang membawa Tarekat Rifa’iyah. Dia membumihanguskan ajaran Hamzah dan membakar buku-buku serta menganggap pengikutnya kafir.
Setelah Arraniri di’kalah’kan ulama lokal Saifur Rizal dan Aceh kemudian memiliki ulama bernama Syekh Abdurauf, Aceh mulai tenang. Ulama asal Singkil, Pantai Barat Aceh itu moderat dan ‘mendamaikan’ dua kutub pandangan itu. Syekh yang bergelar Syiah Kuala iu cepat diterima masyarakat Aceh karena berbeda pendekatan dengan Arraniri.
Abdurrauf dalam masa pemerintahan Sultanah Safiyatuddin menduduki jabatan sebagai Qadi Malik al-Adil yang bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan agama. Sebab itulah sebagai bentuk loyalitasnya kepada Sultanah, ia memiliki kepentingan untuk meredakan ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa Sultan Iskandar Tsani sebelumnya.
Pendekatan yang dilakukan Abdurrauf dalam melakukan interpretasi terhadap ajaran wahdatul wujud adalah dengan menggabungkan pendapat para tokoh-tokoh dari dua aliran tasawuf yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf amali.
Ibnu Arabi dapat digolongkan tokoh tasawuf falsafi yang pandangan-pandangan mistisnya dikutipnya. Sementara al-Ghazali, al-Junaid, al-Harawi, asy-Syadzili dan Suhrawardi al-Baghdadi dapat dikelompokkan sebagai tokoh-tokoh tasawuf amali yang juga menjadi sandaran pemikirannya.
Dalam Tanbih al-Masyi juga terdapat pandangan-pandangan Abdurrauf tentang tiga tahap pokok ajaran tarekat, yaitu penyucian diri yang dikemukakannya dalam seratus martabat, meditasi atau zikir, dan fana.
Pensucian hati, sebagai tahap pertama Tarekat Syaththariyyah, oleh Abdurrauf diuraikan dalam sepuluh martabat, yang dalam setiap martabatnya terdiri atas sepuluh martabat pula, sehingga berjumlah seratus martabat.
Tanbih al-Masyi almansub ila Thariqatil Qusyasyi, 86 halaman, diterbitkan Nahdlatut Turats Indonesia bekerjasama dengan Lajnah Taklif wan Nasr PWNU Jawa Timur, ditahqiq oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Hafid Alwi. Buku ini juga dilengkapi sambutan Rais Am KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Taquf yang semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Terbit tahun 1443 H/2022M. Nahdlatut Turats adalah gerakan untuk menghidupkan naskah-naskah lama karya ulama Nusantara.
Dalam pendahuluannya Syekh Abdurrauf tak menjelaskan tujuan buku dan untuk siapa diterbitkan. Hanya dia menyapa pembacanya dengan Ayyuhal Murid, “Wahai pengharap ridla Ilahi” yang jamak diarahkan kepada pengikut tarekat.
Pada 18 halaman pertama syekh banyak menjelaskan tentang tasawuf falsafi. Dia banyak mengutip Ibnu Arabi dengan menyebutnya sebagai syaikhul akbar, Imam Ghazali, Syekh Al-Kurani, Imam Syadzili, dan Syekh Qusyasyi sendiri, sang guru dalam mengajarkan Tarekat Syaththariyah.
Tarekat tersebut dilembagakan Syekh Abdulah Syaththar yang wafat pada 890/1429 yang dikembangkan Syekh Shofiyuddin Ahmad bin Muhammad Addijani Al-Qusyasyi yang wafat pada 1661.
Jawahirul Khamsah
Dalam bagian kedua, kitab kecil ini membahas tasafuf amali yang banyak mengutip dari Al-Jawahirul Khamsah yang ditulis Syekh Ghauts Muhammad bin Khathiruddin Al-’Atthar yang wafat pada 970 H, termasuk menjelaskan silisilah Tarekat Syaththariyah pada bab tersendiri dan dalam khatimah (penutup) pada kitab Tanbih al-Masyi.
Selanjutnya, kitab ini membahas tentang mengikuti Rusulullah SAW dan memperbanyak shalawat, terutama pada Jumat. Lantas melanggengkan dan memperbanyak dzikir yang berguna unuk memperkaya batin. Selanjutnya, bagaimana cara berdzikir yang benar dengan petunjuk guru.
“Seorang akan mati sesuai dengan kebiasaannya,”sabda Rasulullah SAW. Dengan mengutip At-Tadzkirah karya Imam Al-Qurthubi, dia menjelaskan, orang yang banyak berdzikir maka dia akan mati dalam keadaan berdzikir. Pada bagian terakhir mengajarkan untuk menutup aib orang lain dan keutamaan ayat-ayat dan surat dalam Alquran yang harus menjadi pegangan para pengikut tarekat.
Waktu-waktu tertentu untuk berdoa dan membaca ayat Alquran. Bagaimaan salat hajat dan bagaimana membaca surat Al-Fatihah dengan mengulang ayat iyyaka na’budu wa iyaka nasta’in sebanyak 100 kali agar hajatnya dikabulkan, diajarkan Syekh untuk pelaku tarekat.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan berisi ulasan terkait ajaran guru utama Syekh Abdul Rauf Singkel ketika beliau belajar di Madinah diselesaikan penulisannya pada 5 Rabi’ul Awal 1081 Hijri (23 Juli 1670).
Beberapa ulama Nusantara yang hidup pada kurun masa berikutnya ada yang melakukan penyalinan atas kitab “Tanbîh al-Mâsyî”. Prof Oman Fathurrahman yang telah mengkaji dan menyunting teks “Tanbîh al-Mâsyî” (1999) menyebutkan setidaknya terdapat empat buah salinan dari teks tersebut, dua tersimpan di PNRI Jakarta (Indonesia) dengan nomor kode A 655 dan A 101, dan dua lainnya tersimpan di UB Leiden (Belanda) dengan nomor kode Cod. Or. 7031 dan Cod. Or. 7030.
Ternyata, di luar keempat naskah yang disebutkan itu terdapat juga versi naskah salinan lainnya yang berasal dari Desa Lengkong, Kuningan (Jawa Barat), yang saat ini tersimpan sebagai koleksi masyarakat atas nama Iim Abdurrohim.
TAGING: tasawuf, tasawuf aceh, abdul rauf singkel, ulama aceh, tarekat tasawuf, tanbih al-masyi, kitab ulama aceh, kitab ulama nusantara,