JAKARTA, MUI.OR.ID — Ketua Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET) MUI, Muhammad Syauqillah, mengajak masyarakat untuk mencegah terjadinya teror dengan menebar narasi positif di media sosial.
Syauqillah menjelaskan, di media sosial kerap kali dibanjiri oleh informasi-informasi yang menyesatkan. Menurutnya, persoalan ini juga sulit untuk untuk dilawan apabila hanya mengandalkan negara saja.
“Apabila hanya negara yang mengambil peran tersebut, maka tidak akan mungkin mengalahkan narasi negatif yang tersebar di media sosial. Saya mengajak semua warga negara untuk memperkuat literasi agar terhindar dari informasi yang menyesatkan,” ujarnya.
Selain itu, Syauqi mengimbau agar masyarakat juga hati-hati dalam menyebarkan informasi dari media sosial.
“Jangan sampai kita dengan mudah copy paste apa yang ada di media sosial, perlu disaring terlebih dahulu sebelum sharing,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Syauqillah menyampaikan, MUI juga mendorong agar adanya dakwah siber untuk melawan narasi-narasi teror yang telah menyebar di media sosial.
“Meski belum bisa menyaingi dengan ratusan juta konten destruktif tersebut. Setidaknya kita turut andil berperan meramaikan narasi dakwah yang sejak di media sosial,” sambungnya.
Syauqillah menuturkan, kehadiran MUI melalui dakwah siber tersebut untuk menyaingi adanya narasi-narasi negatif di media sosial yang dibuat oleh kelompok-kelompok radikal.
Kegiatan Halaqah Dakwah Siber, Cegah Teror yang bertajuk “Optimalisasi Islam Wasathiyah di Ruang Siber” yang digelar oleh BPET MUI di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023).
Dalam kesempatan ini, Syauqillah juga mengajak semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang ramah dan terhindar dari perilaku teror.
“Kerja sama antara negara dan masyarakat harus terus diupayakan dalam menangani tindakan destruktif dan perilaku teror tersebut,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, peneliti BPET MUI, Riri Khariroh mengajak masyarakat untuk mengcounter narasi-narasi negatif di media sosial untuk mencegah radikalisme.
Riri menyampaikan, counter narasi negatif di media sosial tersebut juga sangat diperlukan untuk memperluas pemahaman Islam yang moderat.
“Website Islam moderat sudah mengalami kenaikan dan diaskes oleh masyarakat,” ujarnya.
Riri mengungkapkan, konten-konten di media sosial dapat menjadikan identitas dan karakter bagi konsumennya. Sehingga, bila situs-situs radikal yang banyak diakses, maka orang tersebut bisa saja menjadi radikal.
Apalagi, media sosial juga terdapat algoritma. Algoritma tersebut menyebabkan konten-konten yang dilihat akan terus bermunculan.
“Narasi negatif lebih menarik dibanding yang damai. Karena memunculkan ghirah yang luar biasa. Mereka pandai dan punya skil yang luar biasa,” jelasnya.
Oleh karena itu, untuk melawan narasi-narasi negatif tersebut sangat diperlukan, terutama melalui peran strategis dai di media sosial. Sebab, dari hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sangat religius, bahkan mengalahkan negara-negara di Timur Tengah.
“Ini mengalahkan negara-negara Islam di Timur Tengah. Sehingga, peran dai sangat penting dalam mengkonstruksikan paham-paham moderat,” ujarnya.
Menurut Riri, konten negatif di media sosial bukan satu-satunya penyebab orang tersebut terkena radikalisme. Riri menjelaskan, hal tersebut juga bisa dipengaruhi oleh perasaan kesepian, keluarga yang tidak berfungsi, hingga tidak mendapatkan kasih sayang.
“Awal-awal pemicu online radikalisme tidak hanya denger langsung dari dai radikal,” tegasnya.
Sehingga, hal-hal tersebut memiliki kaitan yang erat untuk masuk ke dalam pikiran seseorang sehingga menjadi radikal.
“Counter narasi sangat penting dan harus diperkuat. Arah dari kontra narasi sudah sebaiknya masuk ke level yang tinggi kepada kelompok yang rentan,” ungkapnya.
Riri menambahkan, kelompok-kelompok yang sangat rentan terpapar yakni anak muda dan wanita. Ia menyarankan agar melawan narasi negatif tersebut dengan menggunakan mantan napi dan korban.
Mantan napi dan korban tersebut, ujarnya, digunakan untuk mengajak agar tidak terpapar radikalisme dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dan mudah diterima.
(Sadam/Din)