Umat muslim pastinya sangat penasaran dengan seluruh tindak-tanduk suri tauladannya, sang Rasul, Muhammad SAW.
Apa yang menjadi kebiasaan Nabi, direkam sebegitu detailnya dalam riwayat-riwayat hadits mau pun Sirah Nabawiyah. Di antaranya dalam gaya berpakaian.
Pakaian telah menjadi kebutuhan pokok manusia setelah makanan dan tempat tinggal. Malah, tidak jarang seseorang rela tidak makan enak demi tampil mengikuti tren.
Lalu, bagaimana sebenarnya gaya berpakaian Nabi seperti termaktub dalam as-Syamail al-Muhammadiyyah karya Imam at-Tirmidzi?
- Nabi senang memakai gamis
Sebagaimana riwayat Ummu Salamah:
كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقَمِيصَ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah Saw. adalah gamis.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan an-Nasai)
Kemudian Asma binti Yazid juga berkata:
كَانَتْ يَدُ كُمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الرُّسْغِ
“Lengan baju Rasulullah Saw. hingga sebatas pergelangan tangan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan an-Nasai)
- Nabi mengenakan kain yang berenda atau garis-garis (hibarah).
Ini, berdasarkan riwayat Anas bin Malik yang menyebut bahwa Rasulullah senang memakai hibarah. “Pakaian yang paling disukai oleh Nabi Saw. adalah memakai hibarah (kain yang direnda atau bergaris).” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi)
Selain memakai gamis dan hibarah, Nabi juga pernah mengenakan jubah dari Rum yang lubang lengannya sempit.
- Selendang Qithri
Kemudian Rasulullah juga mengenakan selendang (rida’) yang biasanya diletakkan di bagian bahu, terutama ketika shalat. Anas bin Malik mengatakan:
“Rasulullah pernah keluar rumah dengan bersender kepada Usamah bin Zaid. Beliau menggunakan pakaian (selendang) qithri yang dililitkan di leher atau diletakkan di bahu, dan Rasulullah memakai itu ketika shalat” (HR. Ahmad)
Selain model pakaian, terdapat pula riwayat yang menceritakan bagaimana warna pakaian Rasulullah SAW.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, terlihat jelas bagaimana Rasulullah menyukai pakaian warna putih bahkan sampai menganjurkan untuk mengenakan pakaian berwarna putih, Nabi bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْبَيَاضِ مِنْ الثِّيَابِ فَلْيَلْبَسْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ
“Hendaklah kalian memakai pakaian yang berwarna putih, hendaklah orang yang hidup dari kalian memakainya dan hendaklah kalian kafani orang yang meninggal dari kalian dengannya. Sesungguhnya ia adalah sebaik-baik pakaian kalian.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Tidak hanya baju putih, Rasulullah juga pernah mengenakan baju berwarna lain seperti merah, hijau, dan hitam. Diriwayatkan dari Bara’ yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seorang pun dari makhluk Allah yang lebih menawan dalam mengenakan pakaian yang berwarna merah daripada Rasulullah.
Dan ketika itu panjang rambut Nabi menyentuh kedua bahunya. Sedangkan Abu Rimtsah mengatakan bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah tatkala Nabi mengenakan dua selendang berwarna hijau. Kemudian Sayyidatina Aisyah ra. pernah pada suatu pagi melihat Nabi pergi sambil mengenakan pakaian dari bulu berwarna hitam. (Lihat selengkapnya: Abu ‘Isa At-Tirmidzi, asy-Syamail al-Muhammadiyah, hal 53-60).
Tentunya yang mesti dipahami adalah pakaian Rasulullah tadi tidak lepas dengan budaya Arab di mana tempat Nabi tinggal. Bahwa Nabi, di satu sisi, tetap manusia biasa yang terikat dengan ruang dan waktu.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI periode 2005-2010 yang juga merupakan ahli hadits besar asal Indonesia, KH. Ali Mustafa Yaqub.
Dalam banyak karyanya, Kiai Ali berpendapat Islam tidak membatasi model pakaian. Perihal pakaian ini diserahkan pada budaya dan kearifan masing-masing.
Namun demikian, bukan berarti Islam tidak mengatur bagaimana pakaian sesuai syariat. Setidaknya pakaian harus memenuhi empat persyaratan.
Pertama, menutup aurat. Kedua, tidak transparan. Ketiga, tidak ketat. Dan terakhir tidak menyerupai lawan jenis. Nah, menurut Kiai Ali, selama pakaian memenuhi empat persyaratan ini, tidak masalah bagaimana pun bentuk serta modelnya.
Malah, Kiai Ali dengan lantang mengatakan, justru bangsa Indonesia yang mengenakan pakaian khas negaranya, seperti peci bludru hitam dan batik, itu lah yang mengikuti Sunnah Nabi.
Karena Nabi sendiri mencintai dan senang mengenakan pakaian khas bangsa Arab yang merupakan tanah airnya. Nabi tidak menciptakan pakaian kenabian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai masyarakatnya.
Tidak masalah pula bila masyarakat Indonesia, dengan didasari rasa cinta, ingin mengikuti gaya berpakaian Nabi yang khas Arab itu.
Namun, terang Kiai Ali, bila memang keukeuh ingin mengikuti Nabi dari segi pakaiannya yang khas Arab itu, masyarakat Indonesia harus berhati-hati terjatuh pada syuhrah (rasa bangga memakai pakaian yang berbeda atau tidak lazim dengan budaya masyarakat setempat).
Hal ini karena terdapat hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dikatakan, Rasululllah SAW. Bersabda :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
“Seseorang yang memakai pakaian syuhrah di dunia, kelak di akhirat dia akan diberi pakaian kehinaan oleh Allah, lalu pakaian itu dibakar api neraka” (HR. Ibnu Majah)
Jadi, predikat dan pahala mengikuti sunnah dalam cara berpakaian, bukan hanya bagi mereka yang meniru pakaian luaran Rasul sama persis dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Akan tetapi predikat dan pahala sunnah juga berlaku bagi orang-orang yang berpakaian dengan pakaian yang menjadi ciri khas, identitas, dan kebanggaan bangsanya sendiri. Untuk konteks Indonesia, dengan mengenakan peci bludru hitam dan pakaian batik. (Lihat selengkapnya Ali Mustafa Yaqub, at-Thuruq as-Shahihah fi Fahmis Sunnah an-Nabawiyyah, hal. 83-85)
Wallahu A’lam
(Shafira Amalia/Angga)