JAKARTA, MUI.OR.ID – Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Cholil Nafis menyampaikan bahwa identitas politik dan politik identitas berbeda. Membedakan antara politik identitas dan identitas politik ini adalah jalan merekatkan umat. Selama ini, makna politik identitas seringkali kabur dan dimanfaatkan oleh lawan politik.
Kiai Cholil menyampaikan, pada gelaran politik sebelumnya, umat terpecah belah karena politik identitas.
“Identitas bagi seseorang merupakan suatu keniscayaan. Artinya kita tidak bisa hidup tanpa identitas seperti jenis kelamin, agama, atau dari suku mana kita berasal,” jelas Kiai Cholil kepada MUIDigital di sela-sela FGD “Strategi Dakwah untuk Menjaga Ukhuwah di Tahun Politik” Rabu (13/09/2023) di Jakarta.
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok itu mencontohkan, salah satu bentuk politik identitas adalah munculnya ancaman. Misalnya ketika seseorang dipaksa memilih berdasarkan identitas yang mirip dan bila tidak menurut maka akan diancam. Praktik seperti itu yang menurutnya masuk dalam kategori politik identitas.
Kiai Cholil mencontohkan, bila seseorang mengenalkan dirinya berasal dari suku tertentu atau agama tertentu maka itu sebuah kewajaran. Sebab masyarakat boleh memilih calon pemimpin yang sesuai dengan harapan mereka. Menurutnya, titik tekan politik identitas ada pada paksaan bukan pada naluri atau pilihan pribadi pemilih.
“Umat boleh memilih pemimpin yang satu agama, suku, atau ras dengan mereka. Hal ini dikarenakan, identitas merupakan suatu yang penting bagi manusia, ” ungkapnya.
“Negara kita terdiri dari berbagai kepercayaan dan agama. Jangan sampai terulang kembali perpecahan akibat identitas politik. Ini perlu dipersiapkan oleh kita semua, terlebih dalam konteks Komisi Dakwah adalah para da’i yang telah mengikuti standardisasi, ” tegasnya.
Dalam forum yang sama, Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Ahmad Zubaidi menyampaikan para da’i berperan besar meredam kegaduhan di tahun politik. Dai perlu mengisi dakwah yang sejuk dan menentramkan yang berisi nilai persatuan keumatan dan kebangsaan.
“Para dai harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa perbedaan politik itu hal yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang penting hati kita satu sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia,” terangnya kepada MUIDigital.
Kiai Zubaidi juga mengingatkan bahwa yang terpenting adalah membawa semangat keagamaan dan kebangsaan. Dua semangat ini yang menjadi modal untuk merawat persatuan bangsa Indonesia. (Isyatami Aulia/Azhar)