Oleh KH Dr Agus Hermanto, MHI, anggota pengurus Komisi Penelitian MUI Lampung
(الخطبة الأولى)
السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالهُدَى وَدِيْنِ الحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ المُشْرِكُوْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ! أُوْصِى نَفْسِى وَأَنْتُمْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ, إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم}، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ.
Ma’asyiral muslimin Rahimakumullah!
Alahamdulillahirabbil ‘alamin, pada hari Jumat ini yang merupakan sayyidul ayyam, kita bersama-sama masih dapat menjalankan kewajiban kita di siang hari ini, yaitu menunaikan ibadah shalat Jumat berjamaah.
Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi contoh bagi kita, semoga kita semua termasuk umat yang dicintainya, sehingga syafa’at dan pertolongannya kelak menyertai kita.
Jam’atal mushalliin rahimakumullah!
Untuk itu, mari kita senantiasa meneguhkan keimanan kita dan selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT Takwa dalam arti yang sebenarnya adalah berupaya untuk menjalankan atas apa yang diperintahkan Allah dan menjauhkan atas apa yang dilarang-Nya dalam penuh harapat ridha dan keberkahan dari-Nya semata.
Jama’atal mushalliin rahimakumullah!
Alquran sebagai acuan setiap makhluk di bumi. Alquran yang telah diwahyukan dan diturunkan Allah SWT, kepada Rasul-Nya yang terakhir, ayat demi ayat selama 23 tahun, mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan kitab-kitab samawiyah lain sebelumnya.
Ciri-ciri itu antara lain al-Mu’jiz, artinya mempunyai kekuatan melemahkan. Dari segi nilai sastra dan gramatikanya yang tinggi, sastrawan mana pun tidak mampu menandinginya, meski pada waktu itu banyak yang mencoba membuat Alquran buatan. Ciri lain ialah, membaca Alquran saja tanpa memahami arti dan maknanya, dihitung sebagai ibadah.
Alquran yang merupakan sumber utama dan pertama bagi ajaran Islam, pada dasarnya mengajak semua manusia agar mau menghambakan dan mengabdikan dirinya kepada Allah SWT, dengan aqidah dan syari’at-Nya, serta berakhlak mulia baik bagi Allah mau pun dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia dan makhluk lain.
Sebagai dasar orientasi hidup manusia, Alquran mengacu ke arah tumbuhnya inspirasi yang terefleksikan dalam sifat, sikap dan perilaku yang inheren pada eksistensi dan proses hidup manusia sebagai titah yang akram.
Masyiral Muslimin Rahimakumullah!
Pada masa pembangunan, kontekstualisasi Alquran menjadi penting. Pembangunan manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia, dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, politik dan utamanya aspek agama.
Potensi, profesi dan berbagai wawasan keagamaan dan sosial tertata dalam suatu sistem dan mekanisme yang terarah. Kualitas manusia yang menyangkut berbagai aspek, dikelola dengan dukungan sumber daya manusia sendiri dan kekuatan dari luar dirinya.
Dalam hal ini Alquran sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syari’ah dan akhlaq karimah. Manusia (bani Adam) oleh Allah SWT, dalam Alquran disebut mempunyai karamah (kemuliaan) dan kehormatan di atas semua makhluk lainnya.
Nilai lebih ini bermakna sebagai titik pembeda dan makhluk lain, tentu saja dengan konsekuensi yang berat, bahkan teramat berat. Karena, pada diri manusia terdapat nafsu yang tidak selamanya bisa diajak kompromi untuk melestarikan karamah tersebut. Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada kediriannya dan sering membuat manusia kehilangan nilai karamahnya.
Salah satu aspek dari kekaramahan itu adalah kemampuan fisik dan rasio. Kemampuan inilah yang pada dasarnya akan menumbuhkan sumber daya manusia, sekaligus memacu ke arah pencapaian kualitasnya, manakala dibarengi kemauan berikhtiyar.
Namun di sisi lain, meskipun memiliki nilai karamah manusia oleh Alquran disebut ‘abdu. ‘Abdu yang berarti hamba, menuntut tanggung jawab yang melekat pada diri manusia. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah SWT,, manusia mukallaf diberi berbagai taklif (tanggung jawab) yang harus dilaksanakan menurut ketentuan dan kemampuan berikhtiyar.
Sejauh mana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu ia mempertahankan nilai karamahnya. Sejauh mana manusia menghambakan dirinya terhadap Allah SWT, sejauh itu pula manusia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ‘abdu. Ini berarti, manusia di dalam hidup dan kehidupannya selalu harus beribadah kepada Allah SWT, karena Allah SWT tidak menciptakan jin dan mausia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, namun ia diberi kedudukan sebagai khalifah Allah SWT dengan berbagai tingkat dan derajatnya, satu di atas yang lain, dalam hubungannya secara vertikal dengan Allah SWT mau pun hubungan horisontal antar sesama manusia dan alam lingkungan. Khalifah sebagai pengganti, diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Namun wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus diemban.
Tugas itu dalam Alquran disebut ‘imaratul ardli, di samping ‘ibadatullah. Allah SWT, menciptakan manusia dari bumi ini dan menugaskan manusia melakukan ‘imarah (pengelolaan dan pemeliharaan) di atasnya. Karena manusia di dalam melaksanakan wewenang dan tugas ‘imarah-nya sering berbuat sewenang-wenang, bahkan merusak lingkungan dan tidak mengindahkan manusia lain yang berada pada posisi di bawahnya, maka Allah SWT, selanjutnya memerintahkan manusia agar mohon ampunan Allah SWT, dengan bertaubat.
‘Imaratul ardli yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu saja bukan sekadar membangun tanpa tujuan, apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tugas membangun justru merupakan sarana yang sangat mendasar untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu ‘ibadatullah. Lebih dari itu adalah sarana untuk mencapai sa’adatud darain (kebahagiaan dunia dan akhirat) sebagai tujuan hidup manusia.
Dari sinilah dapat dipahami, masyarakat dalam konsepsi Alquran adalah masyarakat ‘ibadah dan ‘imarah, di mana satu dengan yang lain saling berkait erat. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah SWT, ketika beliau hijrah ke Madinah dengan membangun secara berurutan, dua bangunan monumental yang hingga sekarang masih dilestarikan bahkan dikembangkan. Dua bangunan itu adalah masjid Quba’ dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, yang secara simbolik merupakan wujud konsepsi manusia seutuhnya.
Dalam hal perubahan masyarakat sebagai proses pembangunan, Alquran mengisyaratkan, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah keadaannya. Mengubah di sini berarti berupaya dan ikhtiyar yang menuntut berbagai kemampuan yang disebut kualitas. Ini berarti, membangun manusia butuh kualitas. Garis lingkar balik seperti ini terjadi, karena manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan.
Pada dasarnya keberhasilan proses pembangunan itu banyak ditentukan oleh sumber daya manusia. Allah SWT, dalam Alquran memerintahkan kepada manusia agar mempu berpacu dalam berbagai kebajikan (istibaqul khairat). Perintah ini dipahami untuk menumbuhkan sikap dan perilaku kompetisi yang sehat untuk mencapai al-khairat, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan lumintu, serta wawasan kreatif dan inovatif yang luas, di samping daya analisis untuk mengantisipasi proses transformasi menuju masa depan.
Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai dinamika, bukan hanya sebagai metode yang menitiktekankan pada program-program. Wujud dinamika ini adalah gerakan-gerakan yang selalu menuntut etos kerja tinggi dari semua lapisan masyarakat. Etos kerja ini dalam Alquran disebut sebagai ibtigha’ al-fadlillah (secara optimal berupaya mencari anugerah Allah) atau secara umum disebut sebagai amal shalih. Kehidupan Rasulullah dalam kesehariannya menunjukkan adanya etos kerja yang tinggi.
Beliau selalu mempunyai kesibukan, sampai-sampai membantu istrinya menjahit dan memperbaiki sandal. Bahkan beliau dalam sebunh hadits mengatakan, seberat-berat siksa manusia pada hari kiamat adalah orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan menganggur. Kualitas manusia pada dasarnya, ditentukan oleh potensi dirinya.
Potensi diri yang membentuk kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan. Secara umum, potensi yang telah dibekalkan Allah kepada setiap manusia mukallaf adalah potensi rasio dan fisik.
Yang pertama berkembang menjadi potensi ilmu pengetahuan dan teknolgi, profesi dan kemampuan rasionalitas lainnnya. Dan yang kedua berkembang menjadi keterampilan, etos kerja dan ketahanan tubuh dengan kesehatan yang prima. Dalam Alquran potensi tersebut diformulasikan secara singkat dalam kalimat qawiyyun atau makinun, yang berarti punya quwwah (potensi) atau makanah (ketangguhan).
Sebuah firman Allah SWT, menyebutkan, “Sebaik-baik orang yang kamu serahi tugas mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan berkemampuan menerima amanat serta dipercaya”. Ayat ini dapat dipahami, bahwa setiap upaya apapun untuk mencapai prestasi menuntut adanya potensi dan amanah yang membentuk kualitas. Rasulullah dalam hal ini mengatakan, “Orang mukmin berpotensi lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang yang lemah”.
Pembangunan bukan saja membawa perubahan secara fisik, namun juga perubahan transendental. Hal ini antara lain terlihat dari perubahan nilai religius menjadi nilai ekonomis. Artinya, langkah dan gerak manusia yang semula diperhitungkan secara religius, bergeser menjadi diperhitungkan untung ruginya secara materiil belaka. Hampir dapat dipastikan, nilai ekonomis akan makin berkembang pesat pada era tinggal landas. Era di mana kapitalisasi makin merambah berbagai aspek kehidupan dan industrialisasi mulai menjangkau semua aspek komoditas, etos kerja makin meningkat, peran ketrampilan dan modal makin dominan. Perhitungan untung rugi secara materiil makin kuat posisinya.
Akibatnya, nilai religius terbentur dan terlempar. Era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun justru di situlah nilai-nilai iman dan tawakal terancam. Di situ pula unsur ghurur al-dunya makin mendapat banyak peluang untak menggiring nafsu manusia pada puncak keangkaramurkaannya. Tawakal dan iman terancam oleh posisi ikhtiyar yang makin dominan. Dalam hal ini Alquran memandang kehidupan dunia ini sebagai materi yang menipu manusia (mata’ al-ghurur).
Makin maju kehidupan dunianya, manusia makin melalaikan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Maka Alquran memberi petunju akan keseimbangan yang sering diformulasikan dalam kalimat al-wasath dan al-‘adlu. Keadilan sebagai konsepsi Alquran dipahami sebagai keseimbangan dalam kehidupan manusia. Menakuti manusia dengan siksaan Allah SWT, diimbangi dengan sikap optimis terhadap ampunan dan rahmat Allah SWT. Kewajiban diimbangi dengan hak. Keberanian fisik diim bangi keberanian mental.
Potensi rasio diimbangi potensi fisik. Meskipun Alquran menunjukkan, seluruh isi bumi ini diciptakan untak manusia, dengan pengertian manusia diberi kebebasan mengolah dan memanfaatkannya untuk kepentingan hidup, namun Alquran juga memberikan batas-batas tertentu yang tidak boleh dilampaui agar terjadi keseimbangan, tidak israf (berlebihan) dan tabdzir (mubazir).
Sampai pada soal makan dan minum, Alquran melarang israf dan tabdzir. Tidak boleh melampaui batas kualitas, batas kuantitas, batas maksimal dan minimal, agar terjadi keseimbangan dalam tubuh manusia. Era tinggal landas harus dilandasi semangat keseimbangan antara etos kerja dan tawakal. Etos kerja dan gerakan-gerakan pembangunan dipahami sebagai ikhtiyar yang pada dasarnya hanya merupakan sarana, karena yang menentukan keberhasilannya adalah Allah dengan qudrah dan iradah-Nya.
Tawakal tanpa ikhtiyar akan menimbulkan sikap fatalistik yang berakibat pada munculnya sikap thama’ (dependen) yang tidak dibenarkan. Sebaliknya, ikhtiyar tanpa tawakal bisa menghilangkan nilai imani. Bila manusia hanya berpegang pada ikhtiyar lalu gagal, ia akan kehilangan keseimbangan, stress dan tidak mustahil putus asa (ya’su). Sikap ini dilarang keras oleh Alquran .
Dalam menghadapi era tinggal landas, perlu potensi pengendalian diri dalam arus transformasi. Hanya dengan pengendalian diri ini, manusia akan dapat eksis pada kediriannya, karamah dan akram. Akram di sisi Allah dalam Alquran disebut, adalah orang yang paling bertaqwa sesuai dengan statusnya sebagai hamba. Ini bisa dicapai dengan mengembangkan potensi ruhaniah, iman, aqidah Islamiyah, ketaqwaan yang diformulasikan dalam ajaran syari’ah Islamiyah dan akhlaq karimah.
Potensi ini justru menjadi sarana mengatasi kesulitan dan memberikan jalan keluar serta mendapatkan rizqi tak terduga sesuai dengan jaminan Allah yang dituangkan dalam Alquran . Ini berarti bahwa era tinggal landas harus diimbangi dengan peningkatan wawasan keagamaan dan kualitas keberagamnan Islam, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan antara ‘ibadatullah dan ‘imaaratul ardli.
Ayat-ayat Allah SWT, diekspresikan dalam tiga ayat yang berbeda tetapi saling melengkapi. Ayat-ayat Allah SWT, meliputi:
- Ayat Qur’aniyah (Qauliyah). Yaitu, tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ada di dalam Alquran (dan Hadits Sahih). Di antara hukum yang terpenting di sini adalah Tauhid (Keesaan Allah), akhlak (moralitas), dan keadilan (hukum kepasangan positif dan negatif atau maslahat dan mafsadat). Fungsi terbesar akidah ”Tiada Tuhan selain Allah” adalah sebagai kunci ketika menyeberang dari dunia menuju akhirat, sedangkan syirik sebagai satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni Allah. Ayat Kauniyah Ayat kauniyah yaitu, tanda-tanda kebesaran atau ayat-ayat Allah yang ada di jagad raya (kosmos). Tanda kebesaran Allah yang terpenting di sini adalah hukum kepasangan yang dititipkan Allah SWT pada setiap benda alamiah.
Sunnatullah atau takdir Allah SWT, (hukum alam) ini memegang peran kunci dalam menentukan keselamatan atau kedamaian di dunia. Jadi, Islami pada tingkat alam adalah menyeimbangkan potensi negatif dan potensi positif setiap benda. Islami di sini dapat ditarik sampai pada titik memaksimalkan potensi positif dan meminimalkan potensi negatif suatu benda.
Hukum alam ini berlaku bagi siapa saja tanpa mengenal batas-batas kemanusiaan apapun seperti ras, agama, dan status sosial. Pada tingkat alam inilah semua agama sama, karena siapapun yang melanggar hukum kepasangan ini pasti dihukum Allah seketika. Sebaliknya, siapapun yang taat (”tunduk” pada hukum kepasangan ini), pasti diberi pahala oleh Allah, yaitu keselamatan.
Antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah terdapat hubungan yang sangat erat. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi, karena keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT.
Kalau kita memperhatikan ayat qauliyah, yakni Alquran , kita akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat ayat 20-21: “Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Dalam ayat di atas, jelas-jelas Allah SWT, mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah agar kita memperhatikan ayat-ayat-Nya yang berupa segala yang ada di bumi dan juga yang ada pada diri kita masing-masing. Inilah ayat-ayat Allah SWT dalam bentuk alam semesta (ath-thabi’ah, nature). Dalam QS Yusuf ayat 109, Allah berfirman: “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?”
Ini juga perintah dari Allah SWT, agar kita memperhatikan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan ihwal manusia (at-tarikh wal-basyariyah).
Disamping itu, sebagian di antara ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat qauliyah, yakni Alquran .
Tidak jarang dalam Alquran Allah memaparkan proses penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi, gunung-gunung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Bahkan ketika para ilmuwan menyelidiki dengan seksama paparan dalam ayat-ayat tersebut, mereka terkesima dan takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban ilmiah pada ayat-ayat tersebut, sementara
Alquran diturunkan beberapa ratus tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian-penelitian ilmiah. Firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran” (QS 54:17, 22, 32, 40).
Jama’atal mushalliin rahimakumullah!
Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Alquran tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.
Kewajiban Kita terhadap ayat-ayat Allah SWT. Setelah kita mengetahui bentuk ayat-ayat Allah SWT, yang menjadi penting untuk dipertanyakan adalah apa yang harus kita lakukan terhadap ayat-ayat tersebut. Atau dengan kata lain, apa kewajiban kita terhadap ayat-ayat tersebut? Dan jawabannya ternyata hanya satu kata: iqra’ (bacalah), dan inilah perintah yang pertama kali Allah turunkan kepada Rasulullah saw., surat al-Alaq ayat 1-5, sebagaimana berikut:
قْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq: 1-5).
Adapun cara membaca ayat ayat tersebut adalah, sebagaimana firman Allah SWT, tadabbur dan tafakkur. Terhadap ayat-ayat qauliyah, kewajiban kita adalah tadabbur, yakni membacanya dan berusaha untuk memahami dan merenungi makna dan kandungannya.
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Artinya: “Alquran ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan agar mereka menadabburkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mau berpikir.” (QS. Shad: 29).
- Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah, kewajiban kita adalah tafakkur, yakni memperhatikan, merenungi, dan mempelajarinya dengan seksama. Dan untuk melakukan dua kewajiban tersebut, kita menggunakan akal pikiran dan hati yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Mengenai kewajiban tadabbur, Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai melakukannya. Allah berfirman dalam QS Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”
Dan mengenai kewajiban tafakkur, Allah menjadikannya sebagai salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab). Dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 – 191, Allah berfirman:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191).
Tujuan utama dan pertama kita membaca ayat-ayat Allah SWT adalah agar kita semakin mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ketika kita telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis kita akan semakin takut, semakin beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya. Karena itu, indikasi bahwa kita telah membaca ayat-ayat Allah SWT dengan baik adalah meningkatnya keimanan, ketakwaan, dan rasa takut kita kepada Allah swt. Yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
Artinya: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS Al-Anfal: 2).
Dan yang semestinya terjadi pada diri kita setelah kita membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini:
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran: 191).
Selanjutnya, kita juga membaca ayat-ayat Allah agar kita memahami sunnah-sunnah Allah (sunnatullah), baik itu sunnah Allah pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah Allah SWT pada ciptaan-Nya dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).
Dengan memahami ketentuan syar’i, kita bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syari’at yang ia kehendaki, dan dalam hal ini kita bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihan kita, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.
Jama’atal mushalliin rahimakumullah!
Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, kita akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, kita akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ
(الخطبة الثانية)
الحَمْدُ ِللهِ الَّذِى تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ , وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ , اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ,
فَيَا عِبَادَ اللهِ! أُوْصِى نَفْسِى وَأَنْتُمْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ, إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ ، وَثَنَّى بِمَلاَئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ ، فَقَالَ تَعَالَى وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا ، تَنْبِيْهًا لَنَا وَتَعْلِيْمًا ، وَتَشْرِيْفًا لِنَبِيِّهِ وَتَعْلِيْمًا “إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وعلى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيْ الحَاجَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ ,
اللّهُمَّ لا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لايَخَافُكَ وَلا يَرْحَمُنَا , اللّهُمَّ انْصُرِ المُجَاهِدِيْنَ الَّذِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ, اللّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ دِيْنَكَ ,
اللّهُمَّ أَعِزَّ الإسْلامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِّلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُؤْمِنِيْنَ,
اللّهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هَذَا الشَّهْرِ المُبَارَكِ مِنَ السُّعَدَاءِ المَقْبُوْلِيْنَ وَ لاَ تَجْعَلْنَا اللّهُمَّ مِنَ الأَشْقِيَاءِ المَرْدُوْدِيْنَ,
اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوذُبِكَ مِنْ البَرَصِ، وَالجُنُونِ، وَالجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّءِ الأَسْقَامِ تَحَصَّنَا بِذِى الْعزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَاعَتَصَمْنَا بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ وَتَوَكَّلْنَا عَلَى الْحَيِّ الَّذِى لاَ يَمُوْتُ
اللّهُمَّ اصْرِفْ عَنَّا هَذا الْوَبَاءَ وَقِنَا شَرَّ الرَّدَى وَنَجِّنَا مِنَ الطَّعْنِ والطَّاعُوْنِ وَالْبَلاَءِ بِلُطْفِكَ يَا لَطِيفُ يَا خَبِيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ رَبَّنَا لاتُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّاب رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَاِيْتَآءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكَمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.