Oleh: Naufal Al-Zahra, aktivis Pemuda Persis Sumedang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap berusia 48 tahun pada 26 Juli 2023. Jika ditamsilkan pada usia manusia, usia MUI saat ini sudah lebih dari matang. Pada tahun ini usianya sudah nyaris mencapai setengah abad, hanya perlu menunggu waktu dua tahun lagi untuk menggenapinya.
Sejak dibentuk pada 26 Juli 1975, MUI tampil dalam gelanggang kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pemandu umat Islam. Kehadiran MUI menjadi bukti otoritas ulama sebagai pewaris risalah Nabi Muhammad SAW. perlu hadir membimbing arah gerak bangsa menuju keridhaan Ilahi.
Sebagai lembaga yang didirikan untuk mengayomi umat Islam, perhatian MUI tertuju pada aspek yang multidimensional. Berbagai sendi kehidupan umat tak luput dari perhatiannya. Dari mulai soal yang terkadang dianggap oleh kalangan awam remeh temeh, sampai hal besar yang menyangkut kehidupan berbangsa, tak akan ada habisnya, menjadi concern para ulama. Hal demikian berlaku juga pada aspek kebudayaan yang sangat lekat dengan kehidupan manusia.
Peran MUI dalam ranah kebudayaan menjadi sangat strategis di tengah masyarakat Indonesia. Budaya populer yang menjadi bahan konsumsi masyarakat luas merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh MUI sebagai medan dakwah yang menantang.
Agama Dakwah
Islam merupakan agama yang diturunkan untuk umat manusia. Universalitas yang dimiliki oleh ajaran ini melahirkan suatu konsekuensi yang mengharuskan para pemeluknya untuk giat berdakwah. Karakteristik ajarannya yang demikian, membuat Samuel P. Huntington dalam bukunya Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (2012) menjuluki Islam sebagai “agama misi” yang besar.
Anjuran dakwah bagi setiap orang Islam dalam kenyataannya memang tersebar dalam beberapa ayat suci Alquran. Misalnya dalam QS Al-Ashr ayat 3 yang berisi titah agar hendaknya saling menasehati dalam kebenaran juga kesabaran. Kemudian, dalam QS An-Nahl ayat 125 yang isinya merupakan kiat-kiat (metode) mengajak orang-orang ke jalan Allah SWT. Berikutnya, dalam QS Ali Imran ayat 104 yang berisi anjuran agar umat Islam tampil menyerukan amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Ketiga ayat di atas cukup menjadi bukti otoritatif betapa signifikannya peran dakwah dalam ajaran Islam. Melalui ayat-ayat tersebut, semua yang mengaku beragama Islam, baik laki-laki atau perempuan, apapun latar belakang profesinya, baik secara individu maupun berjamaah, mereka dituntut berpartisipasi dalam membumikan pesan-pesan langit kepada manusia agar menjadi umat terbaik. Apalagi dalam hal ini MUI sebagai wadah berhimpunnya para ulama, mempunyai amanah besar untuk memasifkan gerakan dakwah ke seluruh penjuru Nusantara.
Dakwah Butuh Proses Kreatif
Bentuk kegiatan dakwah terlalu sempit maknanya jika hanya dibatasi pada kegiatan tablig (ceramah) di mimbar-mimbar masjid. Sebagai ajaran yang menghargai kedudukan akal, Islam memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menempuh proses kreatif agar dakwah bisa diterima oleh khalayak umum.
Selama tidak ada tindakan yang menabrak kaidah-kaidah dalam Alquran dan Sunnah, maka setiap orang Islam mempunyai peluang untuk berdakwah sesuai kapasitas masing-masing. Oleh karenanya, cakupan dakwah merambah pada aspek yang lebih konkret dampaknya bagi masyarakat seperti dakwah sosial, dakwah ekonomi, dan dakwah politik.
Salah satu aspek dakwah yang belakangan ini malah terkesan kurang diperhatikan oleh umat Islam padahal memberikan sumbangsih besar bagi tersiarnya ajaran ini ke bumi Nusantara pada masa lampau ialah dakwah kebudayaan. Dengan menggunakan budaya sebagai platform untuk berdakwah, islamisasi khususnya di Jawa dan Nusantara umumnya berlangsung efektif dibanding dengan islamisasi melalui futuhat (ekspedisi militer) seperti di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa.
Keberadaan Wali Songo sebagai pemimpin agama Islam yang dihormati oleh masyarakat Jawa menjadi bukti bahwa menjadi seorang juru dakwah tidak harus melulu cakap beretorika. Supaya pesan-pesan ilahiyah dapat diterima masyarakat, dakwah membutuhkan proses kreatif.
Juru dakwah yang ideal harus cerdas mengamati latar sosio-kultural masyarakat yang menjadi sasarannya. Pertunjukan seni wayang yang cukup dibayar dengan membacakan jimat kalimusodo berupa dua kalimat syahadat oleh Sunan Kalijaga. Kemudian, dakwah dengan seni gamelan yang dirintis oleh Sunan Bonang, adalah model kesuksesan dakwah kebudayaan.
Model dakwah seperti itulah yang mengantarkan Islam cenderung mudah diterima oleh sebagian besar penduduk yang ketika itu masih menganut ajaran Hindu dan Budha. Secara perlahan, pengaruh Islam melebur ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Nusantara termasuk memberikan warna tersendiri bagi corak kebudayaan masyarakat lokalnya.
Pada faktanya, memang beberapa bentuk budaya masyarakat Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Tiar Anwar Bachtiar dalam buku Jejak Dakwah di Nusantara (2023) menerangkan, “keramahan, gotong royong, pernikahan, mengaibkan zina, berbuat baik kepada orang tua bahkan hingga setelah kematiannya, dan sebagainya mudah sekali mencari sumber tautannya dari Islam yang telah diajarkan berabad-abad di negeri ini.”
Dakwah Kebudayaan di Bioskop
Disadari maupun tidak, kehadiran film Buya Hamka di layar bioskop beberapa bulan yang lalu merupakan bentuk pengejawantahan dakwah kebudayaan. Bila dahulu pertunjukan wayang menjadi wahana dakwah para ulama, maka saat ini film dapat menjadi wahana serupa.
Walaupun film tersebut berkisah tentang riwayat hidup seseorang (biopik). Namun, banyak mutiara dakwah yang terkandung di dalamnya. Bukankah Allah SWT. dalam QS Yusuf ayat 111 telah mengingatkan supaya umat Islam mengambil hikmah dari kisah umat terdahulu?
Dewasa ini, peluang dakwah melalui layar bioskop boleh dibilang cukup besar. Peluang tersebut didukung dengan peningkatan tren budaya menonton film di bioskop. Dilansir dari situs Media Indonesia, pada 2022 saja, penonton film bioskop di Indonesia mencapai 54 juta orang. Jumlah tersebut kemungkinan besar akan semakin meningkat di masa yang akan datang.
Sejak cuplikannya dirilis pada Maret lalu, film hasil kerjasama Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) MUI bersama PT Starvision dan Falcon Pictures ini cukup menarik rasa penasaran masyarakat. Antusiasme masyarakat pada film Buya Hamka terbukti konsisten hingga akhir jadwal penayangannya.
Jumlah penonton film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi ini sukses menembus angka 1 juta lebih penonton untuk seri pertamanya. Pencapaian tersebut membuat film Buya Hamka termasuk salah satu film biopik kontemporer terlaris dalam sejarah perfilman Indonesia.
Di luar faktor teknis, biaya produksi, dan nama besar para aktor yang berpartisipasi dalam film ini, salah satu kekuatan film Buya Hamka terletak pada figur yang diceritakannya. Buya Hamka adalah sosok ulama besar yang progresif. Buya Hamka merupakan cermin tokoh Islam yang tidak gagap menghadapi keberagaman.
Sejak muda, Buya Hamka hidup berdampingan dengan keragaman sekaligus ketegangan. Dalam ranah pemikiran, ia menyaksikan sendiri pertentangan antara kaum muda dan kaum tua di Minangkabau. Selain itu, Buya Hamka juga turut bersentuhan dan sempat berada di posisi yang berlawanan dengan kaum nasionalis sekuler.
Hal menarik yang dijumpai dari film seri pertama, Buya Hamka dicitrakan sebagai pelaku dakwah kebudayaan. Karya-karyanya, sekali pun dianggap tak pantas oleh sebagian ulama pada zamannya, tetapi terbukti berhasil menyisipkan subliminal message pada generasi muda saat itu agar sadar pada ajaran agama yang dipeluknya.
Transformasi dakwah kebudayaan akan senantiasa terjadi seiring dengan dinamika yang dialami oleh budaya itu sendiri. Model dakwah kebudayaan yang telah dirintis oleh para pendahulu kita seyogyanya menjadi hal yang patut diinterpretasikan kembali oleh umat Islam Indonesia hari ini.
Kendati budaya selalu mengalami pasang surut perubahan, namun sesungguhnya dakwah tidak akan pernah berubah. Selama hayat masih dikandung badan, umat Islam akan selalu dibebankan oleh tanggungjawab dakwah. Menjelang milad ke-48 tahun ini, MUI sebagai otoritas pengayom umat telah berusaha merawat keberagaman bangsa Indonesia melalui dakwah kebudayaan, sebuah model dakwah yang telah berurat akar selama berabad-abad di bumi Nusantara.
*Naskah adalah Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Media Massa Milad 48 Tahun MUI dan telah tayang di Kumparan dengan link berikut: https://kumparan.com/naufal-al-zahra/20oHXZAD3wc?[object%20Object]