Oleh: KH Abdul Muiz AliPetugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dengan tiga cara. Dalam istilah fikih ketiga cara tersebut penyebutannya dibedakan dengan istilah haji qiran, haji tamattu’ dan haji ifrad. Haji qiran, yaitu dilakukan dengan menyatukan niat haji dan umrah secara bersamaan.
Sedangkan haji tamattu’, yaitu dilakukan dengan mengerjakan ibadah umrah, kemudian haji. Dan yang terakhir disebut haji ifrad, yaitu mengerjakan ibadah haji terlebih dahulu, baru umrah. Meskipun berbeda dalam penyebutan dalam istilahnya, namun rukun yang dikerjakan tetap sama.
Pelaksanaan haji bagi jamaah Indonesia kebanyakan mengambil haji tamattu’, yaitu dengan melaksanakan umrah terlebih dahulu kemudian melaksanakan ibadah haji.
Secara bahasa, tamattu’ adalah masdar (verba) dari asal kata tamatta’a ; tamatta’a-yatamatta’u-tamattu’an yang artinya bersenang-senang. Artinya, orang yang sudah melaksanakan haji tamattu’ (umrah dulu lalu haji), maka setelah melakukan umrah, selepas tahallul, ia boleh bersenang-senang.
Penjelasan tentang haji tamattu’ mendasari pada firman Allah SWT :
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَججِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
“Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan ‘umrah sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali.” (QS Al-Baqarah ayat 196)
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dijelaskan:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنَا أَبُو جَمْرَةَ نَصْرُ بْنُ عِمْرَانَ الضُّبَعِيُّ قَالَ تَمَتَّعْتُ فَنَهَانِي نَاسٌ فَسَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَأَمَرَنِي فَرَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ رَجُلًا يَقُولُ لِي حَجٌّ مَبْرُورٌ وَعُمْرَةٌ مُتَقَبَّلَةٌ فَأَخْبَرْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ سُنَّةَ النَّببِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي أَقِمْ عِنْدِي فَأَجْعَلَ لَكَ سَهْمًا مِنْ مَالِي قَالَ شُعْبَةةُ فَقُلْتُ لِمَ فَقَالَ لِلرُّؤْيَا الَّتِي رَأَيْتُ
“Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah mengabarkan kepada kami Abu Jamrah Nashr bin ‘Imran Adh Dhuba’iy berkata, “Aku mengerjakan haji dengan tamattu’ namun orang-orang melarangku maka aku tanyakan hal itu kepada Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. Maka dia memerintahkan aku (melanjutkan tamattu’). Kemudian aku bermimpi yang dalam mimpiku aku melihat ada seseorang berkata kepadaku, “Haji yang mabrur dan ‘umrah yang diterima.” Lalu hal ini aku kabarkan kepada Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. Maka dia berkata, “Sebagai suatu sunnah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam.” Lalu dia berkata, kepadaku, “Berdirilah di hadapanku, karena aku akan memberimu bagian dari hartaku.” Syu’bah berkata, “Maka aku tanyakan, “Mengapa?”. Dia (Abu Hamzah) berkata, “Karena mimpi yang aku alami itu.” (HR Bukhari)
Praktik haji tamattu’ adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan-bulan haji (asyhurul haji), yaitu Syawal, Dzulqadah dan Dzulhijjah sebelum hari Arafah, lalu ia berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umrah, bukan haji, lalu sesampai di Makkah, ia menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Makkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan serangkaian ritual haji.
Bagi Jamaah Indonesia yang datang lebih awal ke Makkah, mengambil haji tamattu’ lebih ringan, dibandingkan dengan haji qiran dan ifrad. Makanya, haji tamattu’ diistilahkan dengan bersenang-senang atau mengambil kesanangan.
Dari selesai umrah, meski misalnya menunggu satu pekan atau bahkan satu bulan sampai pelaksanaan rangkaian ritual haji, jamaah haji Indonesia bisa lebih leluasa bersenang-senang dan tidak kena ketentuan atau hal-hal yang diharamkan bagi orang yang ihram.
Bayar Dam
Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan bahwa haji tamattu’ itu mewajibkan pelakunya membayar denda. Denda tersebut dalam istilah fikih disebut dengan dam atau hadyu. Dam artinya darah, dalam hal ini maksudnya membayar denda dengan cara menyembelih seekor kambing.
Hadyu adalah sesuatu yang dipersembahkan untuk Tanah Haram berupa hewan atau yang lainnya. Dalam konteks ini adalah khusus hewan yang bisa dijadikan kurban yaitu unta, sapi atau kambing
Bila seseorang tidak memiliki kemampuan finansial untuk membeli seekor kambing untuk bayar Dam, maka denda atau damnya boleh diganti dengan berpuasa 10 hari, tiga hari dikerjakan di Tanah Haram dan tujuh hari setelah pulang di Tanah Air.
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَججِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji, korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh yang sempurna. Demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada Masjidil Haram. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Baqarah ayat 196)
Penyembelihan hewan dam haji tamattu’ atau haji qiran dilakukan di Tanah Haram. Jika dilakukan di luar tanah haram hukumnya tidak sah.
Sementara itu, waktu penyembelihan dam haji tamattu’ sebaiknya dilakukan setelah melaksanakan ibadah haji. Jika penyembelihan dam dilakukan sebelum melaksanakan ibadah umrah atau haji, maka hukumnya tidak diperbolehkan.
Sedangkan penyembelihan Dam haji tamattu’ setelah melaksanakan ibadah umrah, sementara ia belum melakukan rangkaian ritual haji, maka dalam hal ini terjadi perbedaan dikalangan ulama.
Pendapat yang ashoh hukumnya diperbolehkan. Penjelasan diatas dapat dirujuk pada kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhafzab juz 7, halaman 188 atau juga didalam kitab Asybah wa An-Nadzoir, halaman 232.
Menurut kalangan ulama Syafi’iyah yang lebih utama (afdhol) penyembelihan dam dilakukan pada hari nahar yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Hal itu karena mengikuti praktek yang pernah dilakukan Rasulullah SAW dan keluar dari khilaf ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. (Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuh, juz 3 halaman 224-225).
Bagi jamaah haji Indonesia pembayaran dam biasanya dikoordinasikan pihak KBIH masing-masing atau melalui warga Indonesia yang tinggal di Arab Saudi (muqimim).
Sedangkan dam bagi petugas haji dikordinasikan melalui sektor masing-masing. Hal tersebut dilakukan agar lebih memudahkan dalam optimalisasi pelaksanaan pembayaran dam. Wallahu a’lamu bi ash-Showabi
*Makkah Al-Mukarramah, Selasa, 17 Dzulqadah 1444 H/6 Juni 2023