JAKARTA— Saat puasa Ramadhan, banyak desas-desus tentang beberapa hal yang membatalkan puasa. Terkadang benar, namun tidak jarang pula desas-desus itu sekadar kabar burung belaka.
Termasuk menggunakan tetes mata saat puasa. Pertanyaan ini sering muncul di masyarakat. Apakah menggunakan tetes mata di siang hari saat puasa itu membuat puasa kita menjadi batal?
Menggunakan tetes mata saat puasa Ramadhan hukumnya boleh dan tidak membatalkan puasa. Meski ketika misalnya meneteskannya ke mata, ada rasa pahit ke tenggorokan.
Alasannya seperti dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli dalam karyanya Ghayatul Bayan:
وَلَا يَضُرُّ الْاِكْتِحَالُ وَإِنْ وُجِدَ طُعْمُ الْكُحْلِ بِحَلْقِهِ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الْحَلْقِ وَإِنَّمَا الْوَاصِلُ إِلَيْهِ مِنَ الْمَسَامِ
“Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meski ditemukan rasanya celak di tenggorokan, sebab tidak ada akses penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Ghayatul Bayan, hlm 156).
Kiranya, penjelasan di atas sudah cukup jelas. Bahwa alasan di balik tidak batalnya menggunakan tetes mata, sebab tidak ada lubang penghubung antara mata dan tenggorokan, terlebih dengan perut.
Begitu pula masuknya sesuatu lewat pori-pori, itu tidak membatalkan puasa. Misalnya ketika kita mandi, air yang masuk lewat pori-pori kulit yang menyebabkan perasaan segar, itu juga sama, tidak membatalkan puasa.
Nah, penggunaan tetes mata di zaman sekarang, sering dianalogikan dengan pendapat ulama masa lalu dalam penggunaan celak.
Menurut kebanyakan ulama hal tersebut tidak membatalkan puasa, berbeda dengan pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa menggunakan celak saat berpuasa, itu dapat membatalkannya.
Oleh karenanya, bila kita ingin selamat dari perbedaan pendapat ulama, bila memungkinkan, sebaiknya memang tidak menggunakan tetes mata saat puasa.
Akan tetapi, jika memang sudah terdesak dan situasi sudah tidak memungkinkan, kita boleh menggunakan tetes mata saat berpuasa dengan mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Wallahu A’lam.. (Ilham Fikri, ed: Nashih)