Oleh: Dr Mujahidin Nur Lc MA, anggota Komisi Infokom MUI, Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia
Senin 6 Pebruari 2023 pukul 4.17 waktu setempat, menjelang subuh, embun pagi masih menetes di bumi Suriah dan Turki. Angin musim dingin yang basah membuat udara makin dingin. Sebagian masyarakat baru saja terbangun untuk melaksanakan solat subuh ketika gempa dahsyat berkekuatan magnitudo 7.8 meluluh lantakan semuanya.
Gempa di kedalaman 18 KM yang berpusat di Nurdagi, Gaziantep, Turki itu menyebar ke arah timur laut sepanjang Patahan Anatolia Timur termasuk beberapa wilayah di Suriah hingga menewaskan 50 ribu masyarakat baik di Turki maupun Suriah dan membuat jutaan rumah hancur lebur.
Duka dan nestapa seketika menyelimuti saudara-saudara kita di Suriah dan Turki. Tangisan, ratapan, air mata dan tatapan kosong menyelimuti keluarga korban yang masih hidup. Tak terbayangkan kepedihan dan penderitaan mereka.
Gempa bumi seakan telah mengambil semua kehidupan mereka; menghancurkan rumah mereka, menewaskan keluarga mereka dan membuat harta benda mereka hancur bersama puing-puing gempa.
Belasungkawa mendalam dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia patut dihaturkan kepada seluruh keluarga korban gempa bumi di Turki dan Suriah.
Semoga jiwa-jiwa mereka tenang di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan memiliki kesabaran. Agar mereka kembali kuat untuk menatap masa depan paska gempa yang telah ‘mengambil kehidupan’ mereka.
Bencana mahadahsyat yang melanda masyarakat Turki dan Suriah adalah duka kemanusiaan. Gempa ini sejatinya juga duka masyarakat dunia apa pun agama dan warna kulit mereka.
Namun di tengah deraian air mata dan penderitaan masyarakat Suriah masih ada pro kontra di beberapa negara Barat Amerika Serikat dan sekutunya terhadap bantuan kemanusiaan yang dikirimkan dunia kepada para korban.
Pada level ini, menurut Pakar Politik Timur Tengah, Mohamad al-Omari, pemblokiran bantuan oleh Amerika Serikat membuat kondisi masyarakat Suriah makin menderita dan tidak menentu. Karena penderitaan dan musibah masih saja menjadi komiditas politik.
Kita patut mengapresiasi pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang secara resmi telah berkali-kali mengirimkan bantuan kemanusiaan pada korban gempa sejak 21/2/2023.
Sementara pada saat yang bersamaan kepala bantuan PBB Martin Griffiths mengatakan bahwa selama ini truk-truk bantuan kemanusiaan terus berlipat ganda masuk dengan sukses ke Turki.
Tetapi pengiriman ke Suriah mengalami kendala. Hal ini disebabkan negara Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al Assad mendapatkan sanksi dari Barat (CNN Indonesia, 13/2/2023).
Dalam konteks ini, para korban gempa di Suriah bukan hanya seperti dianaktirikan. Namun, kepiluan hati dan penderitaan mereka makin menjadi-jadi karena dunia masih saja mempolitisiasi mereka karena mereka menjadi bagian dari rezim yang diberi sangsi oleh Barat.
Perbedaan perlakuan korban gempa di Suriah dan di Turki memang sepenuhnya hanya masalah politik. Barat secara terang-terangan menegaskan empati kemanusiaan akan dikorbankan di altar ego politik sektoral.
Kita bisa mengamati masalah kemanusiaan yang ditunggangi politik dari komentar pihak Rusia. Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva berpendapat bahwa ada standar ganda dalam memberikan bantuan kemanusiaan ke Turki dan Suriah (Antara, 15/2/2023).
Karena kepentingan ganda di luar semata wayang kepentingan kemanusiaan, maka fakta bahwa Turki dibanjiri bantuan kemanusiaan internasional pada saat yang sama Suriah paceklik, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang telah ditunjukkan Indonesia adalah pilihan dan tindakan paling bijak.
Indonesia memainkan diplomasi kemanusiaan (humanitarian diplomacy) dengan sangat elegan dan memanusiakan para korban baik di Suriah maupun di Turki.
Pemerintah dan rakyat Indonesia tidak pernah pilih kasih dalam memberikan bantuan kemanusiaan, baik Turki maupun Suriah sama saja. Lebih-lebih prinsip politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Netral dan non-blok. Oleh karena itu, bantuan Indonesia mudah masuk ke Suriah tatkala bantuan PBB mengalami kendala.
Alhasil, kita bisa melihat betapa bantuan kemanusiaan dalam pandangan Barat tidak bisa netral sepenuhnya. Bantuan kemanusiaan yang netral hanya bisa dilakukan oleh negara yang netral juga. Karena Indonesia adalah negara yang netral, maka bantuan kemanusiaan Indonesia bisa masuk ke negara mana saja.
Dalam posisi ini saya pikir Indonesia bisa memimpin diplomasi kemanusiaan di Suriah. Supaya bantuan kemanusiaan internasional tetap bisa masuk tanpa ada bias politisnya.
Diplomasi kemanusiaan bukan hanya sekedar membuka jalur bantuan kemanusiaan dan melakukan komunikasi dengan pihak yang bertikai di Suriah.
Namun diplomasi kemanusiaan bisa menjadi media untuk memenangkan hati pemerintah Suriah sekaligus milisi sipil yang berkonflik dengan pemerintah. Pada level selanjutnya Indonesia bisa menjadi mediator untuk mendudukan kedua belah pihak agar menghentikan peperangan sipil yang selama ini berkecamuk di sana.
Apabila Indonesia tidak memainkan dengan maksimal peran diplomasi kemanusiaan, maka nilai-nilai kemanusiaan akan terus menjadi sapi perah, yang akan dijunjung tinggi Barat apabila menguntungkan mereka secara politik.
Namun ketika unsur politik mendominasi mereka maka nilai-nilai suci kemanusiaan tenggelam tak terpikirkan. Pada gilirannya, bantuan kemanusiaan hanya retorika belaka.
Dari sini, kita patut berharap Indonesia, sebagai negara mayoritas Muslim, mengembangkan peran internasionalnya, terkhusus dalam memimpin diplomasi kemanusiaan ini.