Pendirian Rumah Ibadah Menjadi Isu Liar Yang Distortif
Oleh : Dr. Abdul Aziz
Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung
Ada pola yang hampir sama pada beberapa tempat dan lokasi di Kota Bandar Lampung, pembelian tanah dan/atau rumah secara pribadi, tentu saja ini adalah hak semua warga negara. Namun dalam perkembangannya berubah fungsi atau dialih-fungsikan menjadi tempat ibadah dengan jumlah pengguna cukup banyak dan rata rata dari luar wilayah dimana tempat ibadah/rumah pribadi itu berada.
Ketika tempat Ibadah berada ditengah komuitasnya sendiri bisa dipastikan tidak akan pernah menimbulkan masalah, dan dianggap wajar oleh masyarakat, namun ketika berada ditengah komunitas agama yang berbeda pasti menimbulkan ketidaknyamanan bahkan gesekan, karena mengusik rasa keadilan masyarakat dalam kehidupan beragama. Tentu saja logika ini tidak bisa di analogikan dengan sebagian besar masyarakat eropa yang sangat liberal, materialistis, bahkan ateis, yang tidak peduli sama sekali terhadap eksistensi agama dan umat beragama.
Namun entah bagaimana, dalam beberapa minggu terakhir, narasi media tidak utuh dalam merekonstruksi masalahnya, bahkan cenderung bias bahkan distortif, kalau kita menggunakan nalar yang sehat dan waras, setiap ada narasi yang distortif bisa dipastikan ada motif yang tidak baik. Seolah-olah umat Islam menghalangi dan/atau melarang umat beragama lain beribadah, bahkan narasi yang lebih ekstrim, umat Islam melakukan pembubaran/penghentian paksa terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah. Padahal hanya menyoal rumah pribadi yg difungsikan atau dialih-fungsikan menjadi tidak sesuai peruntukan awalnya. Sebenarnya masalah ini rata rata sudah berlangsung cukup lama, namun seolah – olah menjadi barang baru yang ujuk ujuk muncul menjelang momentum politik di negeri ini.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, ada dua substansi yang harus senantiasa ditimbang secara adil dan obyektif, yaitu pendirian rumah ibadah dan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Tidak boleh berat sebelah, jangan an sich berfikir hanya pada penyediaan atau tersedianya sarana dan prasarana ibadah, namun juga harus ditimbang perasaaan keadilan ditengah masyarakat, karena kalau kita abai, maka bisa mencederai peliharaan kerukunan umat beragama. Dalam konteks dinamika di Kota Bandar Lampung, kalau rumah pribadi dialih-fungsikan menjadi tempat ibadah ditengah komunitas agama yang berbeda bisa memicu konflik horizontal, maka pilihan rasionalnya adalah mengembalikannya sebagai rumah pribadi sesuai peruntukan awalnya, kaidah ushul fiqihnya
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Upaya menolak kerusakan/konflik horizontal ditengah masyarakat harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan/penyediaan rumah ibadah.
Persyaratan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang dalam PBM. Setidaknya memiliki substansi pemeliharaan kerukunan umat beragama; 1). pemenuhan rasa keadilan keagamaan masyarakat, 2), saling menghargai dan menghormati hak asasi manusia masing – masing dalam konteks kehidupan antar umat beragama, 3). Menghindari dari upaya – upaya pemaksaan kehendak, 4). Menghindari adanya gesekan dan sejenisnya, 5). Menjaga kedamaian bersama, dst.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Masyarakat muslim Kota Bandar Lampung tidak pernah melarang ataupun menghalangi orang untuk memeluk agama yang diyakininya serta beribadah menurut agamanya itu. Hanya sekedar menyoal rumah pribadi yang dialih-fungsikan tanpa izin menjadi tempat ibadah agama tertentu yang berada ditengah komunitas muslim, serta berpotensi melukai perasaan keadilan masyarakat dan mencederai kerukunan umat beragama.
Masyarakat Kota Bandar Lampung yang heterogen dalam berbagai aspeknya, sejatinya sudah sangat terbiasa dengan kehidupan yang toleran, termasuk dalam kehidupan antar umat beragama, hal ini bisa dilihat dari keberadaan Masjid Taqwa dan Gereja Katedral ditengah kota yang berdiri mega dan berdampingan, hal ini bisa terjadi karena sama sama memenuhi rasa keadilan masyarakat, serta didukung oleh pemenuhan aspek regulasi dan administrasi.
Allahu Ta’ala A’lam Bish-shawab