Perayaan tahun baru merupakan salah satu perayaan tertua yang dikenal manusia. Islam hadir membawa ruh baru bagaimana sebaiknya manusia “merayakan” hadirnya pergantian tahun.
Melansir dari history.com, manusia telah mengenal perayaan pergantian tahun sekira 4000 tahun lalu di Babilonia kuno.
Kini, di berbagai belahan dunia, kalender paling akrab dipasang di rumah-rumah adalah kalender Gregorian. Kalender dengan sistem menghitung peredaran matahari. Total 12 bulan, Januari sampai Desember.
Di Indonesia sendiri, selain kalender Gregorian, masyarakat biasa menggunakan kalender dari beragam sistem kebudayaan. Seperti Hijriyah, Jawa, bahkan Bali.
Tidak dimungkiri bahwa bagi umat Islam, kalender Hijriyah lebih dari sekadar penghitungan hari, melainkan juga sangat terkait dengan ibadah. Seperti penentuan awal Ramadhan dan sebagainya.
Namun, apakah Islam juga mengakui eksistensi penghitungan kalender di luar Islam? Sebenarnya, kalender Hijriyah sendiri bukan ditetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama, melainkan oleh sahabat Umar bin Khattab, khalifah Islam kedua. Nabi Muhammad SAW, terkait bagaimana menghitung hari, tetap menganut tradisi yang umumnya digunakan masyarakat Arab waktu itu.
Penamaan Muharram sampai Dzulhijjah telah ada jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Dalam Alquran sendiri, secara tersirat sistem penghitungan dengan melihat peredaran matahari tetap diakui:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.” (QS Yunus [10] ayat 5)
Banyak dari mufasir, menjelaskan ayat tersebut hanya menyoroti tentang bagaimana Allah SWT menetapkan peredaran bulan agar manusia dapat menghitung hari serta bilangan lain.
Akan tetapi, pada ayat tersebut, ahli tafsir klasik kenamaan Fakhruddin al-Razy menjelaskan tidak ada salahnya menafsirkan ayat tersebut tentang bagaimana Allah SWT menetapkan peredaran matahari sekaligus bulan agar manusia dapat menghitung hari.
Sebab sudah jamak diketahui, penghitungan hari tidak hanya berdasarkan sistem penghitungan peredaran bulan. Meski, sekali lagi, dalam penghitungan syariat Islam, seperti penentuan awal puasa, tetap menggunakan sistem kalender bulan (qamariyah). (Fakhruddin al-Razy, Mafatihul Ghaib, juz 17, hlm 209)
Dalam hal ini, tidak masalah bila seorang Muslim menganut sistem kalender berdasarkan penghitungan bulan (qamariyah) atau (syamsiyah). Terlebih, masih dalam tafsir al-Razy, peredaran tersebut oleh masyarakat dahulu cenderung dijadikan acuan untuk bercocok tanam dan lain sebagainya. Bukan terbatas pada penentuan acara keagamaan tertentu atau menghormati dewa tertentu.
Seorang Muslim tidak akan dicap bagian dari kaum lain bila penyerupaan tersebut tidak terkait dengan akidah. Dalam hadis diceritakan bahwa:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ
Dari Ibnu Abbas RA berkata,” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka menyamai Ahli Kitab di sebagian perkara yang tidak diperintahkan.” (HR Bukhari no. 5462).
Mungkin yang perlu dipermasalahkan adalah bagaimana cara merayakannya. Bila pergantian tahun dilalui dengan hal sia-sia tentu itu tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam.
Jangankan pergantian tahun, pergantian hari saja Nabi mewanti-wanti untuk tetap melakukan evaluasi diri:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Nabi saw. bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 2383)
Namun, bila pergantian tahun, apapun jenis nama kalendernya, entah Hijriah, Gregorian, Sunda, Jawa, Bali, China, dan lain sebagainya, diisi dengan evaluasi diri, meresolusi ulang target-target dan harapan di tahun mendatang agar diri lebih baik lahir batin, mengajak diri lebih menuju kedewasaan spiritual, serta membaca doa awal dan akhir tahun sesuai petunjuk Nabi, tentu saja “perayaan” semacam ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dan secara tidak langsung kita telah menanamkan ruh Islami dalam setiap “perayaan” semacam itu. (Ilham Fikri, ed: Nashih)