JAKARTA – Bayi tabung acapkali menjadi alternatif bagi pasangan suami istri (Pasutri) yang tak kunjung memiliki momongan atau buah hati. Baik karena memang tidak dapat mempunyai anak (mandul), maupun alasan medis lainnya. Lantas bagaimana hukum bayi tabung dalam Islam?
Hingga kini teknik pembuahan sel telur di luar tubuh perempuan yang kemudian hasil bentukan embrionya ditransfer ke rahim perempuan/ibu ini, masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama telah mengeluarkan fatwa tentang Bayi Tabung/Inseminasi Buatan. Fatwa MUI yang ditandatangani di Jakarta, 13 Juni 1979 ini, berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah alias boleh. Sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Kedua, bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram.
Ini berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah (menolak dampak negatif/mudarat), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan. Khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya.
Ketiga, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah.
Sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
Keempat, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain Pasutri yang sah hukumnya haram. Karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina).
Keharamannya juga didasarkan pada kaidah sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Demikian fatwa MUI ihwal hukum bayi tabung dalam Islam yang tidak bisa dipukul rata kebolehan ataupun keharamannya. Melainkan harus dilihat dari mana sperma dan ovum berasal, dititipkan di rahim siapa, dsb.
Kesimpulannya, bayi tabung hanya boleh dilakukan dengan syarat sperma dan ovum berasal dari Pasutri yang sah dan embrio si bayi tidak dititipkan kepada rahim isteri/perempuan lain.
(Shafira Amalia/Angga)