Menanti Kejujuran
Oleh: H.M. Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil Ketua LBM PWNU DKI
Marbort Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Kejujuran ternyata masih sesuatu yang mahal di negeri kita. Bagai membuka kotak pandora saat ini negeri kita tengah diuji dengan muculnya kasus-kasus ‘kakap’. Kasus satu terungkap dan ditangkap kasus lain muncul. Tidak perlu ‘didramatisasi’, mungkin inilah dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Perlu sikap kritis sekaligus bijak bestari dalam menanggapinya. Dialektika selalu ada, kasus lahir akan selalu ada tindakan dan solusi. Tanpa adanya masalah, bangsa ini tidak akan bisa belajar dari kesalahan dan meningkat kedewasaannya.
Kasus-kasus yang terungkap rasanya makin menguak “borok-borok” di masyarakat kita. Kita sudah sumpek dengan berbagai aksi ketidakjujuran seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tingkat elit yang terus menghiasi wajah negeri ini. Nyatanya pula, masyarakat sudah terkena “virus” ketidakjujuran. Masyarakat akan gampang “marah” bila kepentingan “massal”-nya terkoyak termasuk akibat aksi kejujuran. Bila ada maling motor ketangkap, masyarakat akan tersulut untuk main hakim dengan cara membuat bonyok maling atau bahkan membakarnya hidup-hidup. Bila warga suatu kampung dicelakai oleh warga kampung lainnya, maka akan mudah terjadi tawuran massal. Ya, terjadilah semacam “ritual kekerasan” dan beruntunnya fakta ini makin pula membongkar adanya “ritual ketidakjujuran”. Lalu ada yang bilang bahwa kita hidup dalam masyarakat yang hipokrit.
Ini yang kemudian melontarkan kegelisahan, ada apa yang salah di negeri kita? Bukankah pengajaran dan pendidikan keagamaan telah diberlakukan selama ini di sekolah-sekolah? Soal budi pekerti pun rasanya sudah sedemikian “membumi” sehingga secara jargonis kerap digemborkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang santun, mudah bersahabat dan terbuka. Namun, di sebelah lain, kita pun tiba-tiba jadi tergagap-gagap oleh katakanlah situasi “absurditas” tersebut. Muncullah gagasan untuk lebih mengedepankan pendidikan budi pekerti. Bahkan pula, seperti di Blora, Jateng, muncul ide Bupati Blora untuk memasukkan kurikulum ajaran Samin di sekolah-sekolah. Hal ini dilandasi oleh pandangan bahwa komunitas Samin yang dibangun oleh Samin Surosentiko dan masih banyak hidup di wilayah Blora dikenal sebagai komunitas yang memiliki keteguhan martabat, sikap kritis dan kejujuran. Dalam ranah hukum, seperti ungkapan pakar hukum Prof Satjipto Rahardjo, yang dibutuhkan saat ini bukan sekedar “penegakan hukum”, tetapi juga “kejujuran hukum.” Semua ini wajar karena dilandasi oleh kegelisahan dan kepedulian untuk menata kembali mentalitas, karakter dan akhlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pedoman Islam
Seringkali muncul gumam-gumam dalam masyarakat bahwa mencari orang pinter di negeri ini sungguh banyak, tetapi mencari orang yang jujur dan lurus menjadi hal yang teramat langka dan sulit. Sekali lagi, ini menunjukkan ada yang tak beres di negeri kita atau juga ada sesuatu yang paradok atau kontradiktif dengan bangsa kita yang konon dikabarkan sebagai bangsa yang agamis.
Dalam Islam, sifat jujur dan adil merupakan inti ajaran Islam. Kejujuran menempati kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, sebab ia merupakan penopang atau penyangga jalan kebaikan bagi manusia. Menurut Imam Al-Qusyairi, kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana firman Allah SWT,”Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dan orang-orang yang menetapi kebenaran.” (QS An-Nisa: 69).
Al-Quran memuji orang-orang yang jujur lebih dari lima puluh kali. Salah satunya yang termaktub dalam surah al-Ahzab ayat 24,”Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.”
Salah satu ciri kejujuran dalam ajaran Islam adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. Umar bin Khathab pernah melarang umat Islam menilai dan melihat puasa atau shalat seseorang, tetapi hendaknya melihat kejujuran ucapan seseorang jika ia berbicara, amanahnya jika ia diberi tanggungjawab dan kemampuannya meninggalkan apa pun yang meragukan jika mendapat kenikmatan dunia.
Inti kejujuran adalah jika seseorang berkata benar dalam situasi-situasi dimana hanya dusta yang bisa menyelamatkannya. Pernyataan senada juga diutarakan Imam Thabari dengan menekankan pentingya seseorang berkata dan berbuat jujur dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kejujuran itu akan membunuh atau membinasakannya.
Dalam Tafsir Al-Tabarani, diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas “Bahwa salah seorang dari golongan Ansor yang berperang bersama Rasulullah SAW kehilangan baju besi. Seorang laki-laki dari Ansor tertuduh mencuri baju besi tersebut. Pemilik Baju baju itu menghadap Rasulullah dan mengatakan bahwa Tu’mah bin Ubairik yang mencuri baju besi itu dan meletakkannya di rumah seorang laki-laki Yahudi yang tidak bersalah. Kemudian, kerabat Tu’mah pergi dan menghadap Rasulullah pada suatu malam dan berkata kepada Beliau,“Sesungguhnya, saudara kami Tu’mah bersih dari tuduhan itu, sesungguhnya pencuri baju besi itu si Fulan, dan kami benar-benar mengetahui tentang itu, maka bebaskanlah sudara kami dari segala tuduhan di hadapan khalayak dan belalah dia.”
Berdirilah Rasulullah membersihkan Tu’mah dari segala tuduhan dan mengumumkan hal itu dihadapan khalayak ramai. Maka turunlah ayat 113 surat An-Nisa’,“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. Tetapi mereka tidak menyesatkan, melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.
Negeri Berperadaban
Seorang filsuf muslim, Al-Farabi pernah mengandai-ngandai lahirnya sebuah negara sejahtera nan damai yang disebutnya “al-Madinatul Fadlilah”. Dalam khayalannya, di negeri antah berantah itu semua orang hidup bahagia. Tidak ada kecurangan, kejahatan, kekerasan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan. Semua orang berkecukupan, damai, jujur, optimis dan sentosa.
Islam adalah manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut (agama kematian). Dalam nomenkaltur fikih disebut al-mashalih al-‘ammah (kemaslahatan bersama). Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum. Sifat manusia yang berpotensi merusak (ifsad fi al-ardhi wa safku-d-dima’) perlu dikendalikan. Di sini, Islam sudah tegas memberikan petunjuk secara jelas (dilalah al-nash).
Disinilah, pentingnya mengedepankan penataan mentalitas melalui penguatan sikap kejujuran anak bangsa. Ini merupakan upaya preventif (ihtiyath) lewat pembangunan spiritual dan mentalitas, di samping pembangunan material di negara kita. Sudah seharusnya pembangunan mental sekukuh hasrat dalam pembangunan material. Tanpa itu, tidak akan mungkin terwujud pembangunan manusia seutuhnya.
Keprihatinan kita atas kondisi ketidakjujuran dan juga kekerasan sesungguhnya kepedulian kita terhadap kondisi bangsa ini. Tak ada jalan lain, kecuali kita semestinya menguatkan mentalitas bangsa kita. Dan perlu diingat bahwa pembentukan mentalitas dengan memperkukuh rasa kebersamaan, persaudaraan dan kejujuran, perlu ditopang melalui penegakan hukum secara tegas. Ketidakjujuran dalam bentuk apapun, harus segera dihentikan. Langkah ini demi membangun negeri kita yang lebih berperadaban.
Akhirnya, kita juga tidak boleh melupakan bahwa ada hal lain yang mesti dikedepankan, yaitu keteladanan yang baik (al-matsal al-‘ala) dari para pemimpin bangsa. Menyitir kata-kata seorang ulama, Ibnu Malik dalam nadzam Alfiyah-nya,”Keteladanan adalah yang paling utama. Sebab, ucapan tanpa keteladanan tidak akan pernah bisa dipahami.”