JAKARTA— Bahasa Alquran sangat indah. Keindahan tersebut akan lebih tampak apabila dibacakan seseorang yang memiliki suara yang indah dan selalu memperhatikan hukum-hukum tajwid.
Dengan begitu, akan memberikan pengaruh yang mendalam bagi pendengarnya. Namun, bolehkah melagukan bacaan Alquran?
Pakar ilmu qiraat dan ilmu-ilmu Alquran, KH Dr Ahsin Sakho Muhammad, dalam bukunya “Membumikan Ulumul Quran: Tanya Jawab Memudahkan tentang Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm Usmani, Ilmu Tafsir, dan Relevansinya dengan Muslim Indonesia”, menjelaskan, para ulama sebagaimana yang dikemukakan Syekh Ali as-Shabuni dalam kitabnya Rawai al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, terbelah menjadi dua pendapat.
Pertama, kata dia, ulama yang menolak dan tidak setuju melagukan bacaan Alquran merupakan ulama yang berasal dari Mazhab Maliki dan Hanbali.
Pendapat ini dirujuk sahabat Anas bin Malik, Sa’id bin Al-Musayyab, Sa’id bin Jubair, Al-Ashim bin Muhammad, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan lainnya.
Kedua, mereka yang setuju melagukan bacaan Alquran. Inilah pendapat ulama dari Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Para ulama dari Mazhab Syafi’i dan Hanafi yang membolehkan melagukan lagu antara lain Umar bin Khathab, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdurrahman bin Al-Aswad bin Zaid, Abu Jafar Ath-Thabari, Abu Bakar bin Al-Arabi, dan lainnya.
Para ulama yang tidak setuju melagukan bacaan Alquran merujuk sejumlah dalil dan alasan di antaranya hadits Nabi Mumamad SAW:
اقرأوا القُرآنَ بلُحونِ العربِ وأصواتِها وإيَّاكم ولُحونِ أَهلِ الكتابِ وأَهلِ الفسقِ فإنَّهُ سيجيءُ من بعدي قومٌ يرجِّعونَ بالقُرآنِ ترجيعَ الرَّهبانيَّةِ والنَّوحِ والغناءِ لا يجاوزُ حَناجرَهُم مفتونَةٌ قلوبُهُم وقلوبُ الَّذينَ يعجبُهُم شأنُهُم
‘’Bacalah Alquran dengan lahn (bacaan, langgam) orang Arab dan suara mereka. Jauhilah olehmu (melagukan Alquran) dengan lagunya ahli kitab dan orang fasik. Akan datang setelahku orang-orang yang akan melagukan Alquran sebagaimana penyanyi berlagu, berdendang dan berteriak-teriak. Bacaan mereka hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka terkena fitnah, begitu juga hati yang memuji mereka.’’
Menurut Kiai Ahsin, hadits ini disebutkan bagaimana Nabi Muhammad SAW memberi peringatan terhadap mereka yang melagukan bacaan Alquran seperti penyanyi.
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda mengomentari mereka yang membaca Alquran dengan berlagu:
ﻭَﻧَﺸْﻮٌ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻭﻥَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻣَﺰَﺍﻣِﻴﺮَ ﻳُﻘَﺪِّﻣُﻮﻥَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻢْ ﻟِﻴُﻐَﻨِّﻴَﻬُﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻗَﻠُّﻬُﻢْ ﻓِﻘْﻬًﺎ
“Anak-anak muda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling (musik) dan mereka memajukan (menjadikan imam) seseorang agar dia memlanggamkan irama (seperti lagu) padahal dia adalah orang yang paling sedikit ilmunya (pemahaman agama) diantara mereka”
Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang berlagu saat membaca Alquran akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah ilmu tajwid seperti memanjangkan bacaan yang semestinya pendek, melunakkan hamzah yang semestinya dibaca keras. Padahal, hal ini sangat jelas tidak boleh terjadi Ketika membaca Al-Quran.
Selain itu, Imam Malik pernah ditanya tentang hukum orang yang melagukan bacaan Alquran sewaktu sholat. Beliau menjawab,’’Aku tidak menyukainya,’’ kemudian berkata, ‘’Itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuanya mencari uang.’’
Kemudian, hal serupa terjadi kepada Imam Ahmad. Beliau ditanya bagaimana hukum melagukan bacaan Alquran. Kemudian Imam Ahmad menjawab,’’itu bidah, tidak boleh didengarkan.’’
Kiai Ahsin melanjutkan, sementara itu, para ulama yang setuju melagukan bacaan Alquran pun merujuk sejumlah dalil dan alasan, di antaranya Hadits Nabi Muhammad SAW:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
‘’Barang siapa tidak melagukan Alquran, dia bukan golonganku (tidak mengikuti perilakuku).’’ (HR Abu Dawud).
Para ulama banyak mengartikan kata yataghanna dengan memperindah bacaan. Ibn Jarir Ath-Thabari berkata, ‘’Yang masyhur pada perkataan orang Arab, ungkapan taghanni ialah melagukan, membaguskan bacaan dengan berlagu.’’
Kemudian Imam al-Khathtabi memberikan latar belakang dari munculnya hadits tersebut. Dia berkata, ‘’Orang Arab sangat ganderung dengan nyanyian pada banyak kesempatan. Pada saat Alquran turun, Nabi menginginkan agar kebiasaan itu digantikan dengan kebiasaan melagukan Al-Quran. Nabi berkata,’’Barangsiapa yang tidak melagukan bacaan Alquran maka dia bukan termasuk dalam kelompokku.’’ (Syarh kitab At-Tauhid min Shahih Al-Bukhori, Al-Ghanimani II/460).
Ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab, ‘’Umar berkata kepada Abu Musa al-Asyari: ‘’ Ingatkanlah diriku akan Allah.’’ Abu Musa lalu membaca Alquran dan melagukannya. Umar berkata, ’’Barangsiapa ingin membaca Alquran dengan berlagu sebagaimana Abu Musa lakukan, maka lakukanlah.’’ (Zad Al-Maad, 1/466),
Dari pada pendapat yang disampaikan para ulama baik yang setuju maupun tidak setuju melagukan bacaan Alquran, Kiai Ahsin Sakho mengatakan, bahwa pendapat yang setuju untuk membaca Alquran lebih tarjih.
‘’Hal ini karena dalilnya kuat dengan catatan bahwa membaca Alquran dengan lagu tidak sampai mengorbankan unsur tajwid,’’tegasnya.
Kiai Ahsin Sakho menjelaskan, unsur tajwid harus dikedepankan dalam membaca Alquran karena tajwid itu hukumnya wajib (dharuriyyat), sementara melagukkan bacaan Alquran bersifat kamaliyat atau demi kesempurnaan bacaan saja. (Sadam Al-Ghifari, ed: Nashih).