Fikih Politik
Oleh: H. M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil LBM PWNU DKI
Marbot Rumah Daulat Buku (RUDALKU)
Politik umat sering diidentikkan dengan kehidupan mereka dalam bernegara. Pemahaman ini memunculkan diskursus berkepanjangan mengenai hubungan antara negara dan agama. Hingga saat ini ada dua arus besar, pertama, menginginkan bentuk kekhilafahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam. Kedua, lebih bersikap moderat serta mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai (mabadi’) Islam bisa dijalankan dalam negara tersebut.
Pengalaman Nabi
Para ulama di masa Islam awal bertolak dari pengalaman Nabi Muhammad di Mekkah dan di Madinah. Periode Makkiyah yang dijalani oleh Nabi selama sekitar 13 tahun merupakan masa yang penuh onak duri. Misi Islam banyak berbenturan dengan para pembesar Quraisy yang merasa kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Arab terancam. Pada periode ini, Nabi lebih mencerminkan sebagai seorang pemimpin agama.
Barulah setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, tatanan “bernegara” umat Islam mulai nampak. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi Madinah. Masyarakat kota Yatsrib cukup beragam dan sudah mengenal pluralisme. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu. Suku Aus, Khazraj, Qainuqa’, Quraidlah dan Bani Nadhir. Penduduknya pun menganut beragam agama: Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua kelompok, yaitu kaum migran (Muhajirin), dan penduduk lokal (Anshar) yang didominasi oleh suku Aus dan Khazraj. Sedangkan kaum Yahudi berasal dari suku Nadhir, Qainuqa dan Quraidlah.
Di sini, bisa dipahami kalau pada periode Madaniyyah atau pasca hijrah ini, posisi Nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga pemimpin “negara”. Tapi, tentu, istilah negara di sini tidak bisa disamakan dengan negara modern dalam konteks sekarang. Sebut saja, “city-state”.
Deklarasi berdirinya “negara” tersebut tergambar pada kemunculan “Piagam Madinah”. Meskipun Madinah saat itu barulah “city state”, harus diakui bahwa tipologi pemerintahan semacam itu merupakan bentuk baru ditengah-tengah menguatnya adikuasa Romawi dan Persia yang feodalistik dan otoriter.
Pada masa Nabi, masalah politik tidak pernah menjadi persoalan yang cukup menyita perhatian masyarakat Islam. Bahkan, dengan kecakapan dan keahliannya, Nabi berhasil melaksanakan peran politik hingga mampu menyatukan kekuatan politik yang menyebar di beberapa kelompok masyarakat Madinah. Nabi melakukan pengisian jabatan, distribusi peran politik secara adil dan seimbang hingga melaksanakan kebijakan politik. Semua itu dilakukan secara hati-hati dengan mengacu kepada aspirasi masyarakat. Posisi Nabi tidak hanya sebagai seorang pemimpin pemerintahan yang memegang peran besar di bidang politik praktis. Nabi juga memerankan diri sebagai pemimpin keagamaan (ri’asatu al-din wa al-dawlah). Fungsi ganda ini berjalan seimbang.
Di masa Nabi, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil. Kondisi masyarakat yang cukup plural, menginspirasi Nabi untuk mendirikan “Negara Madinah”. Konsep “Negara Madinah” tertuang dalam al-Shahifah atau “Piagam Madinah” yang mengandung nilai universalitas, yaitu keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.
Yang menarik, dalam Piagam Madinah tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat al-Quran”, “syariat Islam” atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam. Kota Yatsrib yang berganti nama “Madinah”, mengacu pada kata tamaddun, yang berarti “peradaban”. Maksudnya, kota atau negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Demi mewujudkannya, Nabi mengembangkan konsep “ukhuwah madaniyah”. Yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban.
Nabi Muhammad selalu mengutamakan pemecahan sosio-kultural atas suatu masalah dibanding sanksi hukum yang sifatnya formal. Masyarakat Islam pun selalu dinamis. Melalui pengalaman Nabi di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
Politik Sunni
Teori politik eksistensinya jauh tertinggal dari kondisi riil politik umat Islam. Nabi Muhammad memang pernah membangun model negara kota di Madinah, kemudian diteruskan para Khulafa’ Rasyidun, lalu dirombak oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dalam bentuk dinasti. Bentuk dinasti ini berlanjut di era dinasti Abbasiyah.
Kesulitan ini sama halnya dengan menggagas seputar isu “negara Islam” di kalangan Sunni. Adakah negara Islam di kalangan Sunni? Kalau ada, negara manakah di dunia ini sekarang yang representatif menyandang sebutan negara Islam?
Sepengetahuan saya, Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (w. 728 H), salah seorang ulama Hanabilah, yang mencuatkan frame pemikiran fikih politik dalam sebuah karya yang utuh, “al-siyasah al-syar’iyah”. Menurut Ibn Taimiyah, sistem khilafah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model Khulafaur al-Rasyidun. Karena itu, istilah “ulil amri” (pemerintah atau penguasa) bagi Ibn Taimiyah merupakan kesatuan antara ulama dan umara’.
Namun, faktanya institusionalisasi agama selalu berdampak pada pen-taqdis-an atau mistifikasi negara. Selain akan menutup pintu transparasi manajemen pemerintahan, mistifikasi ini juga akan membelenggu kreasi dan ekspresi warga. Mistifikasi ini bisa mengarah pada goyahnya kemurnian tauhid seorang muslim, karena mistifikasi tiada lain adalah pen-taqdis-an makhluk Allah (yakni negara). Teori khilafah yang diagung-agungkan Ibn Taimiyah oleh penganutnya justru diganti dengan pola monarki dan lainnya. Disini terjadi pula sentralisasi kekuasaan sehingga rakyat tidak memiliki hak untuk melakukan apapun. Sejarah juga menyingkapkan bahwa kekhilafahan yang pernah ada banyak melahirkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para petinggi kekhalifahan dari penyimpangan politik hingga penyimpangan keagamaan dengan segala bentuknya. Karena kekuasaan terlalu terpusat dan tidak ada kekritisan yang muncul. Inilah bahayanya bila kekuasaan menjadi ‘pujaan’ terlebih dengan mengatasnamakan ‘titah langit’. Fakta-fakta ‘blunder’ dalam kekhalifahan ini tercatat dalam banyak kitab sejarah seperti ditulis Atthabari, Ibnu Atsir, Ibnu khaldun dan lainnya.
Kita melihat sebagian umat Islam termasuk di negeri kita yang masih terus menginginkan tegaknya khilafah dengan segala bentuk kegiatannya. Kasus Khilafatul Muslimin yang tengah heboh menjadi contoh betapa tantangan idiologis negeri kita masih terpampang jelas dan membutuhkan sikap dan tindakan yang sistemik. Sekaligus ini cerminan bahwa pemikiran politik disebagian umat Islam masih ‘berjalan ditempat’, tidak bersedia menerima hasil penelitian revisionis yang telah membongkar kesejarahan politik umat Islam terdahulu sembari membangun formulasi politik Islam yang lebih elegan, demokratik dan humanistik.
Visi politik kalangan Sunni sesungguhnya lebih terfokus pada kemaslahatan rakyat. Seperti diungkap dalam kaidah fikih,“Tasharruful imam ala-r-ra’iyyah manuthun bil mashlahah” (Kebijakan pemerintah kepada rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat). Agama diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, dan negara merupakan instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat tersebut.
Untuk mewujudkan cita dan visi yang mulia ini, diperlukan partisipasi rakyat. Jika rumusan kemaslahatan lebih dimonopoli oleh pemimpinnya, maka kemaslahatan rakyat akan banyak mengalami distorsi. Agar rakyat bisa berpartisipasi dalam mengambil keputusan, walaupun harus mengambil mekanisme perwakilan, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu dalam partisipasi. Basis doktrinal dalam fikih politik, seperti terpantul dalam konsep “al-dlaruriyah al-khams”, sangatlah relevan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan wajib dijadikan pegangan bagi kelangsungan kemaslahatan di atas.
Masyarakat menantikan kedatangan pemimpin yang mampu menunjukkan dirinya secara paripurna, sehingga cita-cita bangsa kita akan tercapai dalam meraih keadilan, kemakmuran, dan pemerataan. Seorang pemimpin harus menunjukkan dirinya sebagai pelayan terbaik terhadap rakyat dan umatnya, seperti kata Nabi,“Sayyidul qaumi khadimuhum” (Seorang pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya). Nah, fikih politik sesungguhnya terpaut erat dengan misi Islam, yakni menebar rahmat bagi semua makhluk Tuhan.