Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Fath al-Qarib adalah kitab fikih Mazhab Syafi’i yang lazim dipakai hampir di seluruh pesantren Indonesia. Kitab Fath al-Qarib ditulis Syekh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Ulama ini lahir pada 859 Hijriyah di Gaza, Palestina. Kitab ini adalah syarah (anotasi/penjelas) dari kitab Taqrib karya Syekh Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihani atau dikenal dengan al-Qadhi Abu Syuja’ (433-593 H).
Jika kita merujuk kepada kitab Fath al-Qarib tersebut, dapat kita temukan pembahasan tentang empat macam air:
- Air yang suci dan mensucikan serta tidak makruh digunakan. Air ini disebut dengan air mutlak
- Air yang suci dan mensucikan tetapi makruh digunakan, yakni air yang terjemur panas matahari
- Air yang suci tetapi tidak mensucikan, yakni air bekas dipakai untuk bersuci
- Air yang berubah najis, yakni air yang di dalamnya terdapat najis, di mana air tersebut volumenya kurang dari dua qullah, tidak sampai 270 liter.
Adapun makruh, dalam istilah fikih adalah perbuatan yang dilarang, meski bisa jadi tidak sampai pada konsekuensi berdosa. Sementara najis adalah sesuatu yang kotor dan dilarang untuk dikonsumsi.
Air yang kurang dari 270 liter dan terkena najis (mutanajjis) bisa kembali suci jika ditambahkan dengan air lain sehingga mencapai ukuran kurang lebih 270 liter.
Empat macam air di atas memiliki persamaan dengan beberapa karakter manusia:
A. Manusia yang baik (suci) adalah mereka yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan mengajak orang lain untuk bertakwa (menyucikan). Karakter manusia seperti ini dimiliki oleh para rasul Allah SWT dan umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang saleh yang istiqamah menyeru pada jalan kebaikan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS Ali Imran ayat 110)
Kecenderungan sifat manusia seperti ini tidak saja memikirkan keselamatan atau kesejahteraan dirinya, tetapi juga orang lain di sekitarnya. Ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)
B. Karakter manusia yang kedua mereka adalah orang baik (suci) dan bisa mengajak orang lain dalam kebaikan (mensucikan). Tetapi dalam cara mengajak orang lain, mereka tidak dibekali dengan ilmu, wawasan dan pemahaman yang benar.
Pada karakter manusia yang kedua ini, adakalanya (1) terlalu kaku dalam berdakwah dan jumud (beku) dalam berpikir.
Atau sebaliknya, (2) terlalu bebas dalam berpikir dan menafsir sehingga melabrak pakem kebenaran yang digariskan.
Orang yang memiliki karakter seperti ini, akibat dipengaruhi oleh pemikiran orang lain, buku bacaan atau lingkungan pendidikan yang serba terlalu, baik terlalu kaku ataupun terlalu bebas, sebagaimana panasnya air yang dipengaruhi terik matahari.
Kecenderungan kelompok yang ‘terlalu’ ini biasanya sering menyalahkan orang lain tanpa diawali dengan konfirmasi dan diskusi. Atau mudah membenarkan apa saja sesuai alur pikiran dan seleranya tanpa melakukan pendalaman referensi.
Keduanya, baik ekstrem kanan yang jumud atau tekstualis dalam memahami agama (literal), atau ekstrem kiri yang menafsiri agama dengan bebas (liberal) sama-sama tidak baik untuk dipakai apalagi diikuti. Dalam istilah fikih: makrûhun isti’maluhu (tidak layak digunakan).
Pemahaman yang benar dan banyak diikuti (sawâdul a’zham) adalah kelompok yang berkarakter wasathiyyah atau moderat. Kelompok dengan pemahaman yang bersumber pada teks-teks Alquran dan hadits dengan tidak mengesampingkan konteks, menggabungkan dalil ‘aqliy (argumentasi rasional) dan dalil naqliy (argumentasi tekstual). Kelompok tengah ini menjadi sumber inspirasi pemahaman Ahlus Sunah wal Jama’ah (Aswaja) terhadap agama.
Pemahaman wasathiyyatul Islâm (moderasi dalam Islam) ini didasari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.” (QS Al Baqarah ayat 143)
Karakter wasathiyyah berpijak pada keadilan dalam berpikir dan berbuat, pertengahan dalam setiap hal. Tidak ifrâth (melebih-lebihkan) dan tidak juga tafrîth (mengurang-ngurangi) dalam urusan agama dan dunia. Tidak ghuluw atau melampaui batas dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِى مُعَنِّتًا وَلاَ مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِى مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku menjadi orang yang mempersulit (masalah) dan orang yang mencari-cari kesulitan, tetapi sebagai pendidik yang memudahkan.” (HR Muslim).
C. Karakter manusia yang lain, sebagaimana tipologi air yang ketiga, adalah golongan orang baik (suci) tapi belum bisa mengajak pada kebaikan (mensucikan) terhadap orang lain. Dengan demikian, dia lebih memilih menjaga keselamatan dirinya dan paling jauh untuk keselamatan keluarganya terlebih dahulu, daripada keselamatan orang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At Tahrim ayat 6)
Dan suatu kondisi, merasa dirinya tidak baik justru merupakan sikap yang baik dalam Islam.
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS An Najm ayat 32)
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Janganlah kalian merasa diri kalian suci, Allah lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik di antara kalian.” (HR Muslim)
Ia tidak dapat mengajak (mensucikan) dalam kebaikan, sebagaimana jenis air ketiga yang tidak bisa mensucikan karena volumenya sedikit kurang dari dua qullah dan bekas dipakai untuk bersuci. Tetapi, jenis air semacam ini bisa kembali suci dan dapat mensucikan jika dikumpulkan atau ditambah dengan air lain yang suci hingga sampai ukuran dua qullah.
Artinya, jika seseorang yang semula tidak punya kemampuan untuk mengajak (mensucikan) orang lain karena keterbatasan ilmu dan pengalamannya serta bayangan hitam masa lalunya, ia suatu saat akan bisa mengajak orang lain dalam kebaikan (mensucikan) dengan cara belajar dan berkumpul dengan orang-orang saleh.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit kita temukan orang yang dulunya minim tentang agama dan bahkan kehidupannya jauh dari nilai-nilai agama Islam, setelah mendapat hidayah ia kemudian belajar dan mendalami ajaran Islam dan menyesali kesalahan masa lalunya. Akhirnya, ia tidak saja menjadi orang yang baik tapi juga mampu mengajak orang lain dalam kebaikan.
D. Air mutanajjis adalah air sedikit kurang dari dua qullah yang terkena najis atau sudah mencapai dua qullah atau lebih namun sudah berubah salah satu sifatnya, apakah warna, bau, atau rasanya karena terkena najis tersebut.
Air yang terkena najis tidak boleh digunakan untuk wudhu, mandi apalagi menghilangkan najis. Air najis bisa berubah statusnya menjadi air suci antara lain dengan cara ditambah volume airnya, atau najisnya dapat dihilangkan.
Tipologi air semacam ini ada kemiripan dengan seseorang yang bergelimang dosa karena kerap melakukan kesalahan. Namun sebaik-baiknya orang yang pernah melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasûhâ (taubat yang semurni-murninya).” (QS At Tahrim ayat 8)
كلُّ بني آدم خَطَّاءٌ, وخيرُ الخَطَّائِينَ التوابون
“Setiap anak Adam bergelimang dosa, dan sebaik-baik orang yang bergelimang dosa adalah yang banyak bertaubat.” (HR Tirmidzi)
Tobat yang baik adalah menyesali perbuatannya, tidak mengulangi kesalahannya dan mengembalikan hak orang lain yang pernah dia zalimi.
Demikian kiranya tipologi karakter manusia jika dianalogikan dengan empat kategori air di dalam fikih. Tinggal setiap dari kita mau bercermin dengan jujur, di tipologi manakah kita berada.
Cermin yang jujur akan memudahkan kita bersikap dan menempatkan diri, untuk kemudian memperbaikinya, jika ada yang perlu diperbaiki. Dan tentu perbaikan demi perbaikan adalah sebuah kebutuhan niscaya dalam diri setiap manusia.