Bandar Lampung: Media sosial di era digital saat ini menyuguhkan kemudahan untuk mengakses berbagai hal tanpa dibatasi waktu dan tempat. Dengan media sosial, seolah-olah dunia saat ini berada dalam genggaman kita.
Namun di balik itu, media sosial juga bisa menjadikan seseorang terjebak dalam sistem sempit yang dinamakan sebagai ‘algoritma’. Sebuah sistem yang bekerja secara otomatis dengan memberikan rekomendasi dan rujukan sesuai dengan prilaku warganet dalam bermedia sosial dan menjadikannya ‘tersandra’ di dunia maya.
Akibat jebakan algoritma ini, seseorang akan mengakses konten-konten yang serupa secara sistematis sehingga ia akan terisolasi karena itu-itu saja yang dikonsumsinya. Sehingga walaupun banyak informasi lain yang mampu memberi nuansa baru dalam bermedsos, namun tidak terakses sehingga ia akan menjadi seperti istilah ‘katak dalam tempurung’. Merasa sudah tahu semuanya, namun ternyata begitu tempurung dibuka, ternyata dunia sangatlah luas.
“Algoritma pada media sosial dan internet punya dampak negatif yang belum tentu disadari oleh penggunanya. Algoritma itu kerjanya selalu menghadirkan rekomendasi yang paling relevan dari apa yang dilakukan seseorang di dunia maya,” kata pegiat media sosial yang juga Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bandarlampung Rudi Santoso saat berdiskusi tentang efek negatif medsos, Sabtu (12/3/2022).
Prilaku terkungkung dalam jebakan Algoritma ini bisa mempengaruhi pola pikir seseorang dan bisa terlihat dalam aktivitas di dunia nyata. Ia memberi contoh saat seseorang belajar ilmu agama dengan tidak hati-hati dan tidak sadar memilih penceramah-penceramah radikal di media sosial seperti melalui Youtube, misalnya.
“Kalau tontonan dan sumbernya itu-itu saja, karena memang sudah disodorkan oleh sistem algoritma, maka bisa dipastikan belajar agamanya akan seperti model penceramah yang ditontonnya,” katanya.
Dan ini menurut Rudi yang menjadikan seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, sehingga ia akan berlarut-larut dalam pandangannya sendiri. Dan setelah pandangannya ‘mendarah daging’ lanjutnya, maka ia akan susah untuk menerima pandangan orang lain dalam beragama.
“Sehingga terjadi kecenderungan terhadap satu pemikiran dan menimbulkan fanatik dan tidak moderat dalam beragama. Hal itu kemudian menumbuhkan pemahaman merasa paling benar sendiri dengan menyalah-nyalahkan orang lain,” tambahnya. Terlebih-lebih jika seseorang secara terus-menerus mengkonsumsi konten medsos dari sumber atau media yang tidak jelas. Ini secara tidak langsung akan membentuk kepribadian yang selalu mencari pembenaran, bukan mencari kebenaran.
“Dia akan mencari informasi-informasi lain serupa, yang bisa membenarkan pemahamannya dan tak mau ‘piknik’ untuk mencari pandangan dari orang lain yang berbeda,” ungkapnya.
Inilah yang menurutnya menjadikan sebagian orang ‘terpapar’ virus radikalisme yang mengarah kepada ekstremisme bahkan terorisme akibat terjebak dalam sistem algoritma. Oleh karenanya, pengurus MUI Lampung bidang Infokom ini berharap masyarakat waspada dengan jebakan algoritma ini. (Muhammad Faizin)