Oleh: Tantan Hermansah
Pengurus Infokom MUI Pusat
Dua tahun sudah pandemi dirasakan masyarakat Indonesia. Dua tahun itu pula kita hidup dalam suasana yang disebut sebagai new normal atau kenormalan baru. Dalam kenormalan baru masyarakat dipaksa untuk menerapkan berbagai hal yang dimaksudkan untuk menciptakan kebiasaan agar kita bisa hidup bersama pandemi ini. Sebab pandemi bukan untuk ditolak melainkan untuk dihadapi dengan wajar, rasional, dan tetap punya harapan.
Pada September 2020, BPS mengadakan sebuah survei yang melibatkan 90.967 responden dengan komposisi 44,77 persen laki-laki dan 55,23 persen perempuan, mengemukakan beberapa data sebagai berikut:
Tingkat kepatuhan responden dalam pencegahan Covid-19 sudah baik. Di mana sebagian besar responden cukup lelah untuk menerapkan berbagai protokol kesehatan dalam kehidupan sehari harinya, Responden perempuan jauh lebih taat protokol kesehatan ketimbang responden laki-laki. Sementara secara umum, tingkat kepatuhan untuk menerapkan segala hal terkait protokol kesehatan seperti memakan masker, menggunakan hand sanitizer, mencuci tangan memakai sabun, menghindari berjabat tangan, menghindari kerumunan dan menjaga jarak, pun sudah cukup dipahami dan disadari oleh responden pada segala umur.
Begitu pula dengan persoalan terkait persepsi atas efektivitas protokol kesehatan terhadap pencegahan Covid-19, pun sangat baik. Termasuk bahwa beberapa tanggapan terhadap vaksinasi dan budaya baru yang diterapkan itu cukup bisa mencegah penularan virus.
Namun demikian ada data menarik juga yang disampaikan dalam penelitian ini yakni beberapa alasan mengapa responden tidak mau menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya alasan mereka ikut ikutan juga untuk tidak terlalu ketat menerapkan protokol kesehatan in cukup kuat adalah bahwa tidak adanya sanksi terhadap mereka yang tidak menerapkan protokol kesehatan.
Data ini semakin menarik karena ternyata dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya sanksi yang tegas pada mereka yang tidak mendapat protokol kesehatan merata pada berbagai komponen umur maupun pendidikan.
Tumbuhnya budaya baru seiring dengan hadirnya pandemi Indonesia pun tampak pada beberapa kebiasaan lain seperti keluar rumah. Di mana semakin tinggi usia, maka semakin membatasi diri untuk melakukan kegiatan di luar rumah.
Riset ini juga mau menunjukkan bagaimana praktik penerapan protokol kesehatan di beberapa titik yang menjadi pusat kerumunan publik. Pada tempat-tempat kerumunan seperti: mal, tempat pelayanan publik pemerintah, pasar, tempat kerja atau kantor-kantor, tempat ibadah dan lain-lain hanya sedikit responden yang mengatakan bahwa di tempat tempat itu protokol kesehatan tidak diterapkan.
Lalu bagaimana kita membaca lebih dalam realitas ini?
Melihat data-data yang dikemukakan oleh BPS di atas, maka wajar jika kemudian ada sejumlah rasa optimisme dalam melewati masa wabah ini. Bahwa masih terlihat ada kalangan masyarakat yang masih belum patuh, jika melihat hasil survei di atas, jumlah bisa dikatakan tidak signifikan.
Sebagai bagian dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri cukup progresif (lihat: Asroun Ni’am Soleh [2020] yang berjudul: “Towards a Progressive Fatwa: MUI’s Response to the Covid-19 Pandemic” dalam merespons persoalan wabah ini, terutama agar masyarakat tidak memiliki keraguan untuk melakukan berbagai kegiatan. Setidaknya adalah sejumlah fatwa yang dikeluarkan MUI untuk membantu masyarakat bersikap dan bertindak selama masa pandemi.
Contoh ada Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi Wabah Covid-19, Fatwa MUI No. 17 Tahun 2020 tentang Pedoman Kaifiat Shalat bagi Tenaga Kesehatan yang Memakai Alat Pelindung Diri (APD) Saat Merawat dan
Menangani Pasien Covid-19, Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Janaiz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19, dan Fatwa MUI No. 23 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Harta Zakat Infak dan Shadaqah untuk Penanggulangan Wabah Covid-19 dan Dampaknya, serta sejumlah fatwa lain yang terkait dengan hajat hidup umat Islam.
Jika menganalisisnya dari perspektif modal sosial, maka data-data dan realitas yang jelas kita temukan dalam keseharian masyarakat itu, merupakan modal sosial yang kuat untuk bangsa ini melakukan sejumlah lompatan kebudayaan, terutama dalam melewati pandemi. Kita juga melihat bagaimana setiap elemen bangsa bahu membahu mendukung pemerintah untuk melaksanakan vaksinasi di berbagai tempat dan segmen. Sehingga per-Desember ini sudah 38,2 persen masyarakat Indonesia yang mendapatkan vaksinasi.
Namun demikian, optimisme ini jangan berlebihan, sehingga membuat kita lengah. “Jangan kendor”, begitu bunyi tulisan yang tersebar di mana-mana. Itu menunjukkan bahwa “badai wabah belum berlalu”. Apalagi, Covid-19 merupakan virus yang memiliki kemampuan mutasi cepat dan tinggi. Sehingga virus ini dengan cepat dan mudah mereplikasi dirinya untuk menyesuaikan dengan konteks lingkungan tempat masyarakat tinggal.
Baru-baru ini, setelah Covid-19 varian Delta terdeteksi, muncul lagi varian baru yang diberi nama: Omicron. Bahkan, varian ini telah terdeteksi masuk ke bumi tercinta kita. Maka dari itu, meminjam kata Bang Napi, “Waspadah… Waspadalah… Waspadalah…”. [ ]