Oleh: KH Abdul Muiz Ali
(Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI)
Menjaga akal itu penting, bahkan hukumnya wajib. Penyebab meningkatnya perceraian dalam rumah tangga biasanya karena suami dan istri atau salah satunya, tidak bisa menahan emosinya sehingga mudah mengatakan talak atau cerai. Di sinilah memelihara akal sehat itu penting. Jangan karena urusan kecil perceraian terjadi dan akibatnya anak menjadi korban.
Dalam rilis data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang berstatus perkawinan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 1,46 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa.
Kajian hukum talak atau cerai dalam kondisi marah penting untuk diketengahkan terlebih dahulu tentang akal. Akal memiliki keterlibatan dan keterkaitan yang sangat kuat dalam objek hukum.
Kata akal/’aqola diserap dari bahasa Arab ‘aqola-ya’qilu-‘aqlan yang mempunyai arti atara lain; memahami, menyadari, menyerap. Menjaga akal (hifzhu al-Aqli) termasuk lima pokok penting dalam Islam, selain menjaga agama, harta, jiwa, dan keturunan.
Imam Al Qurthubi dalam al-Jami’ li ahkami al-Quran menyebutkan, keutamaan akal menjadi alasan atas taklif, kewajibkan ibadah atas manusia, dapat mengenal Allah SWT dan memahami Kalam-Nya, mampu menghubungkan seluruh kenikmatan dan sebagai sarana untuk membenarkan Rasul-Nya.
Imam Al Ghazali dalam al-Mustashfa juga menjelaskan, akal merupakan alat untuk memahami, penerima amanat, termasuk objek khitab atas perbuatan seseorang.
Dalam fikih akal punya implikasi kuat atas konsekuensi suatu perbuatan, termasuk kaitannya dengan hukum talaknya seseorang.
Talak dalam kondisi marah
Hilangnya akal sehat bisa disebabkan oleh marah atau sebab mabuk setelah sengaja mengkonsumsi minuman keras. Secara khusus kasus keduanya banyak dibahas dalam kitab fikih terkait keabsahan talaknya seseorang terhadap istrinya.
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
“Para ulama sepakat akan jatuhnya talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat kemarahannya.” (I`anatuth Thalibin, jilid 4 hal. 5)
Tetapi hukum talak dalam kondisi marah ulama masih memberikan rincian (tafshil). Model marah seperti apa yang menyebabkan talaknya bisa terjadi?
Merujuk pada penjelasan Syekh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘alal Mazahib al-Arba’ah, halaman 4/142. Ia menjelaskan bahwa sebagian ulama membagi kemarahan suami yang marah menjadi tiga tingkatan:
ﺃﻣﺎ ﻃﻼﻕ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻗﺪ ﻗﺴﻢ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ :
ﺍﻷﻭﻝ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻓﻲ ﺃﻭﻝ ﺃﻣﺮﻩ ﻓﻼ ﻳﻐﻴﺮ ﻋﻘﻞ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻘﺼﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻟﻪ ﻭﻳﻌﻠﻤﻪ ﻭﻻ ﺭﻳﺐ ﻓﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻳﻘﻊ ﻃﻼﻗﻪ ﻭﺗﻨﻔﺬ ﻋﺒﺎﺭﺍﺗﻪ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻓﻲ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻐﻴﺮ ﻋﻘﻞ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻳﺠﻌﻠﻪ ﻛﺎﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻘﺼﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﻻ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﻭﻻ ﺭﻳﺐ ﻓﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻻ ﻳﻘﻊ ﻃﻼﻗﻪ ﻷﻧﻪ ﻫﻮ ﻭﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻭﺳﻄﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﺎﻟﺘﻴﻦ ﺑﺄﻥ ﻳﺸﺘﺪ ﻭﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﻋﺎﺩﺗﻪ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺎﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻘﺼﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﻻ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﻭﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻳﻘﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﻄﻼﻕ
“Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membagi kemarahan itu menjadi ttiga bagian:
Pertama, kemarahan tingkat pertama. Kondisi marahnya tidak merubah akal orang yang marah, dalam arti ia sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan menyadarinya. Dalam kondisi marah yang wajar seperti ini, tidak diragukan bahwa marah dalam tingkat ini sah dan terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.
Kedua, kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga seperti orang gila yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan tidak menyadarinya. Dalam kondisi marah yang sangat tidak wajar seperti ini, tidak diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini tidak menayebabkan terjadi talak, karena ia sama dengan orang gila.
Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat (seperti) orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Dalam kondisi marah seperti model yang ketiga ini menurut mayoritas ulama (jumhur) talaknya dianggap sah.
Kehilangan akal sehat atau kesadaran seorang yang menyebabkan tidak terjadi atau tidak sah talaknya juga bisa dilihat dari faktor penyebanya.”
Imam Al Syairazi dalam al-Muhadzab, jilid 3, hal. 3 menjelaskan, hilangnya kesadaran (akal) mereka perlu dilihat penyebabnya.
فأما من لا يعقل فإنه لم يعقل بسبب يعذر فيه كالنائم والمجنون والمريض ومن شرب دواء للتداوي فزال عقله أو أكره على شرب الخمر حتى سكر لم يقع طلاقه لأنه نص في الخبر على النائم والمجنون وقسنا عليهما الباقين وإن لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله فالمنصوص في السكران أنه يصح طلاقه
“Adapun orang yang tidak sadar, jika tidak sadarnya karena sebab yang dimaafkan, seperti orang yang sedang tidur, gila, sakit, dan seperti misalnya orang yang minum obat guna mengobati penyakitnya, sampai hilang kesadaran akalnya, atau dipaksa minum khamar sampai mabuk, maka ia tidak jatuh atau tidak sah talaknya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash hadits tentang orang tidur dan orang gila. Maka kita bisa menyamakan saja yang lain kepada keduanya.
Selanjutnya, jika seseorang hilang kesadaran akalnya karena sebab yang tidak dimaafkan, seperti orang yang minum khamar tanpa alasan sampai mabuk, atau minum obat tanpa ada kebutuhan, sehingga hilang kesadaran akalnya, maka menurut pendapat (nash) yang telah ditetapkan tentang orang mabuk, jatuhlah talaknya atau sah talaknya.