Oleh Dr Tatan Hermansah
Anggota Komisi Infokom MUI
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“ Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Surat Al Mulk ayat 15)
Kampanye Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga S Uno, tentang “Berwisata di Indonesia Aja” yang kemudian juga menekankan optimalisasi wisata halal penting direspons. Alasannya karena wisata halal sudah menjadi suatu merek (brand) yang melekat kepada keseharian atau budaya masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyak hal, seperti terdapatnya masyarakat Muslim yang demikian teguh mengimplementasikan kehidupan mereka dengan nilai-nilai Islam dan halal, selain secara internasional Indonesia beberapa kali mendapatkan prestasi di sektor wisata halal ini.
Wisata halal merupakan bagian dari suatu sistem wisata umum. Aktivitas wisata umum ini sudah terjadi sejak era purba. Bahkan sejarah wisata menyebutkan bahwa umur aktivitas berwisata itu sama dengan usia manusia itu sendiri. Ketika manusia melakukan perpindahan temporer untuk kegiatan mencari pengalaman baru, saat itulah wisata, secara praktis, mulai dilakukan umat manusia.
Setiap perjalanan wisata akan memberikan pertambahan nilai, baik kepada pelaku dalam bentuk pengalaman, maupun ke destinasi. Di atas destinasi inilah maka nilai tambah yang ada kemudian bisa diakumulasi menjadi kapital ekonomi, kapital sosial, dan bahkan kapital budaya. Agregasi dari kapital ekonomi lama-lama, jika dikelola dengan baik dan sistematis, menyumbang pada kemakmuran dan kesejahteraan suatu wilayah.
Sedangkan kapital sosial akan memberikan penguatan atas jaringan kerja dari para pelaku sehingga bisa memperluas popularitas (popularity) kawasan bahkan menghasilkan kolaborasi kreatif di antara mereka. Lalu kapital budaya ada kemungkinan terjadi asimilasi positif antara kedua entitas (pelaku perjalanan dan komunitas tujuan) seperti hadirnya pandangan baru yang lebih inklusif dan toleran.
Pada destinasi wisata halal, kita bisa melihat bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di sekitarnya. Ada yang tampak sekali menunjukkan dampak positif berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar kawasan, namun ada juga yang tampak biasa-biasa saja.
Salah satu dampak positif pada kehidupan masyarakat adalah jika kawasan wisata dan orang-orang yang terkait di dalamnya mengerti dengan baik hakikat dan makna wisata. Sementara itu ketidakmengertian akan makna dan pesan yang terkandung dalam wisata menyebabkan wisata di destinasi hanya tindakan mengabadikan gambar saja. Beragam spot foto pun dibuat dengan bermacam konsep. Namun setelah gambar diambil, lalu oleh pelaku ditayangkan di media sosialnya, destinasi itu pun terlepas dari pelaku dan tidak memberikan ikatan.
Padahal sejak dulu wisata adalah pengalaman. Pengalaman itu melibatkan seluruh pancaindra bahkan jiwa dari semua pelakunya. Maka makna dari ruang wisata menjadi meluas, bukan sekadar penghias mata, melainkan lebih jauh untuk melayani kebutuhan hati. Hati sendiri adalah ruang yang sangat luas, sehingga proses memahaminya tidak bisa hanya fisik, tetapi juga batin, yang kebutuhannya hanya bisa diberikan melalui penjelajahan secara spiritual.
Di sinilah mengapa wisata halal bukan semata kegiatan kunjungan. Wisata halal harus diberikan, dan memang memiliki, makna lebih. Meski indikator internasional hanya menyebutkan hal-hal terkait pelayanan fisik, seperti ramah keluarga, ketersediaan tempat ibadah yang nyaman dan makanan yang halal, namun makna lebih dalam dari indikator yang dikehendaki kaum Muslimin itu adalah adanya pengalaman ketenangan batin. Inilah yang seharusnya dijangkau dalam konteks penguatan wisata halal di mana pun di Indonesia.
Berdasarkan gambaran bahwa ruang batin yang menempati posisi terdalam itu dalam konteks wisata halal, maka beberapa langkah strategis untuk memperkuatnya perlu dilakukan, seperti: Pertama, aktivitas wisata halal harus diikuti dengan motivasi pemberian pencerahan kepada para pelancongnya. Misalnya ketika mendatangi sebuah kawasan wisata, pelancong atau wisatawan disuguhkan juga proses batinnya, seperti ada pengajian, dzikiran, dan sebagainya.
Kedua, setelah penguatan narasi batin di atas, jika untuk hal-hal tertentu, paket wisata halal bisa diperkaya dengan aspek partisipasi dari pelancong pada berbagai kegiatan halal, seperti ikut makan bersama dengan entitas masyarakat di destinasi, mengikuti atraksi kegiatan halal lain seperti mengaji bareng santri dan sebagainya.
Ketiga, penguatan kelembagaan yang praktiknya ditunjukkan dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas destinasi. Wisatawan atau para pelancong wisata halal diberikan keleluasaan untuk mengetahui segala bentuk proses kehalalan dari destinasi mulai dari kawasan yang inklusif dan toleran, karyawan yang amanah serta paham akan hakikat halal itu sendiri dan proses manajemen destinasi yang hanya mengelola produk halal.
Ketiga langkah strategis di atas cukup penting diterapkan dengan serius karena, seperti sudah disinggung, wisata halal bukan sekadar melulu mendatangi sebuah kawasan, melainkan wisata halal menjadi suatu arena berbagi pengalaman batin dari destinasi kepada para wisatawan. Pengalaman batin ini tentu bisa menjadi pemicu tumbuhnya hormon-hormon bahagia seperti hormon dopamin, hormon serotonin dan hormon endorfin, selain perasaan spiritual.
Ketiga hormon plus perasaan spiritual itulah yang akan menghasilkan ikatan batin antara pelaku dengan destinasi. Sehingga dari keterikatan itu juga, selain potensi akan kembalinya para wisatawan ini ke destinasi tersebut, juga akan menebarkan kedamaian dan keharmonian dalam kehidupan pelakunya. [ ]