Oleh Dr KH Ahmad Fahrur Rozi
Duka mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia, ketegangan di Jalur Gaza Yerusalem semakin memanas, dalam serangan brutal yang kini telah melewati hari ketujuh angkatan udara Israel kembali melancarkan serangan udara ke ke Gaza pada Ahad (16/5) membombardir 3.000 bom di wilayah Gaza dan telah menelan korban jiwa dua warga Palestina, termasuk 52 anak-anak dan 31 wanita telah gugur sejak Israel memulai serangan di Gaza pada Senin (10/5) lalu, dilaporkan sebanyak 1.225 lainnya terluka ( CNN Indonesia 16/5 ).
Ketegangan di Palestina meningkat sejak keputusan pengadilan Israel yang memerintahkan penggusuran keluarga Palestina dari lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur. Hal ini menyebabkan aksi protes dari warga Palestina yang diikuti oleh serangan tentara Israel terhadap warga sipil Palestina.
Konflik berlangsung di Yerusalem Timur dan telah meluas menjadi bentrokan antara polisi Israel dan warga Palestina di sekitar Masjid Al Aqsa. Konfrontasi pecah antara warga Palestina dan polisi Israel di beberapa bagian Yerusalem Timur pada Ahad (9/5), termasuk di Sheikh Jarrah dan di luar Kota Tua serta di Haifa, yaitu kota campuran Arab-Yahudi di Israel utara.
Israel menduduki Yerusalem Timur selama perang Arab-Israel 1967. Israel mencaplok seluruh kota pada 1980 dalam sebuah tindakan yang tidak pernah diakui komunitas internasional namun tetap berlangsung sampai saat ini atas dukungan Amerika Serikat, sementara sikap negara-negara Arab terpecah dan belum menunjukkan kekompakan yang sungguh sungguh dalam mendukung perjuangan pembebasan Palestina dari penjajahan Israel.
Untuk mengakhiri perang, sudah pernah di sepakati solusi dua negara dalam Resolusi PBB mengenai “Penyelesaian Damai Tentang Masalah Palestina” yang ada sejak 1974 , ini merupakan salah satu opsi solusi mengakhiri konflik Palestina-Israel dan menyerukan untuk dibuatnya “dua negara untuk dua warga.”
Dengan solusi dua negara, negara Palestina berdampingan dengan Israel, di sebelah barat Sungai Yordan, Palestina bersepakat mendukung solusi ini meskipun batas wilayahnya masih dipersengketakan antara pemimpin Palestina dan negara Arab yang menginginkan kembali ke perbatasan pada 1967, sementara Israel sang agresor menolak dan terus arogan secara semena mena melakukan penjajahan pencaplokan wilayah pemukiman rakyat Palestina.
Ketika mengikuti short Course di kampus MarkField Institute of Higher Education ( MIHE ) Leicester Inggris pada 2003, saya sempat bertemu dan berdiskusi dgn Dr Azzam Tamimi, dosen MIHE yang juga pemikir Islam Inggris terkemuka kelahiran Palestina, penulis buku “Islam and Secularism in the Middle East”, Democrat within Islamism, dan Hamas: A History from Within.
Sebagai Muslim kelahiran Palestina Dia tegas menyatakan tidak akan pernah memberikan legitimasi kepada Israel, “sebuah negara yang dibuat di atas tanah yang dirampok dari ayah saya, dari kakek saya dan dari ibu saya”. Dia juga mengklasifikasikan Zionisme sebagai ideologi rasis.
Meskipun demikian, Tamimi mendukung pembicaraan antara Hamas dan Israel, dan dia percaya bahwa koeksistensi antara Palestina dan Israel mungkin saja terjadi, “Perdamaian masih dapat dicapai dengan berbicara tentang bagaimana hidup berdampingan secara adil,” kata dia. Azzam Tamimi mendukung apa yang dia sebut sebagai solusi Afrika Selatan pasca-apartheid, di mana negara Israel dibubarkan seperti halnya apartheid dulu, dan semua orang di dalam Palestina wajib menjadi warga negara yang sama.”
Kita berharap agar semua kaum Muslimin dan seluruh negara Islam dunia bersatu padu membantu dengan segala upaya untuk menolong penderitaan warga Palestina, mendorong kelompok Hamas dan Fatah bersatu dan menekan Amerika Serikat dan Israel untuk menghormati perdamaian dunia dan HAM dengan mengakhiri pendudukan sepihak di wilayah Palestina sebagai negara merdeka yang berdaulat sepenuhnya.
*Wakil Sekjen MUI, Wakil ketua PWNU Jatim, dan Pengasuh Pondok Pesantren ANNUR 1 Bululawang Malang, Jawa Timur.