Thobib Al-Asyhar
Ini adalah perjalanan penting sepanjang sejarah kehidupan saya. Sekitar dua tahun lalu, saya dan Ketua LPQM, Dr. Muchlis M. Hanafi utusan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk menghadiri Konferensi Internasional tentang Moderasi Beragama di Baghdad, yang diselengarakan oleh Dewan Wakaf Sunni, Irak. Delegasi MUI diwakili oleh KH. Muhyiddin Djunaidi. Juga ada wakil dari UIN Malang, Muhammadiyah, dan Ikatan Almuni Al-Azhar Indonesia (IAAI), serta alumni Syam (Suriah).
Terus terang, dalam benak saya sempat ragu karena kondisi Irak saat itu, khususnya Baghdad yang belum aman secara penuh pasca kekalahan para pejuang ISIS. Saat menyampaikan info kepada isteri, dia dengan tegas bilang “jangan yah, Baghdad belum aman”. Apalagi info ini saya terima sehari setelah pulang kampung pasca lebaran. Hati ini jadi gundah gulana. Ingin mengambil kesempatan yang jarang ini, saat yang sama ada perasaan insecure karena kondisi Irak pasca perang.
Lalu saya telepon pak Muchlis Hanafi lagi untuk make sure, apakah di Baghdad sudah betul-betul aman atau tidak. Maklum, pak Muchlis ini orang yang biasa melanglang melitang di Timur Tengah. Setelah melakukan riset kecil-kecilan dengan Google tentang kondisi Irak, akhirnya saya putuskan untuk bergabung dan mengurus semua keperluan perjalanan.
Waktu pengurusan visa sangatlah pendek, hanya dua hari. Rabu siang dapat kabar, Kamis masuk kantor pertama pasca lebaran, dan Jumat pagi mengurus ke Kedutaan Irak di Jakarta untuk mengajukan visa. Alhamdulillah, meski sempat pesimis karena waktu yang mendadak seperti tahu bulat, akhirnya seluruh syarat perjalanan lengkap dan Ahad malam berangkat, dibantu oleh kawan saya yang sangat berpengalaman.
Senin (25/6/18) siang, suhu kota Baghdad diperkirakan sekitar 45 derajat. Demikian pilot pesawat Turkish Airlines mengumumkan dari ruang kopkit menjelang landing di Baghdad International Airport. Hawa yang cukup panas, tentu saja, bagi yang biasa hidup di iklim tropis seperti kami, para delegasi International Conference on Wasathiyah Islam di Banghdad.
Pengumuman tersebut menambah berat perasaan kami hingga semakin gundah seiring munculnya kekhawatiran tentang keamanan di kota itu. Jantung seakan tidak berhenti berdegup kencang karena sebentar lagi kami menginjakkan kaki di negeri yang masih rawan konflik tersebut.
Satu hal lagi yang membuat nyali semakin ciut dan perasaan tidak menentu karena Irak belum lama lepas dari bayang-bayang teror mengerikan kelompok bersenjata ISIS. Kita semua tahu bagimana kejamnya ISIS yang memperjuangkan khilafah dengan cara kekerasan, seperti membantai musuh dengan memenggal, menggantung, membakar, menembak, dan lain-lain. Juga, berdasarkan bacaan dimana masih ada sisa-sisa perang saudara dan pertentangan panjang nan rumit antar kelompok Sunni-Syi’ah pasca Saddam digulingkan Amerika dan sekutunya beberapa tahun yang lalu.
Tidak lama setelah mendarat, kami pun dijemput oleh panitia konferensi yang mengenakan identitas dengan jas resmi lengkap. Ada pula yang memakai kafeyah dan baju resmi khas Arab bersama tim dari KBRI yang standby sejak awal. Kesan yang mendalam bagi kami karena mereka sangat friendly and helpfulness.
“Assalamualaikum. Ahlan wa sahlan bi hudlurikum fi Baghdad”, begitulah sambutan penjemput kami di depan pintu keluar Bandara Baghdad.
Jangan bertanya hawa panas saat itu. Udara yang bertiup terasa cukup panas. Seperti di depan kompor. Maklum, saat itu memang sedang musim panas. Di tanah air belum pernah merasakan sepanas itu. Tidak lama saling bersapa, kami pun langsung diminta naik mobil jemputan yang sudah disiapkan. Begitu duduk di jok mobil terasa nyaman dan “nyes” setelah merasakan suhu di luar. Mobil lalu berhenti di suatu tempat yang masih dalam kawasan bandara dan kami dipersilahkan turun untuk menunggu di sebuah ruang penyambutan tamu asing sambil menanti proses pemeriksaan imigrasi dan bagasi.
Ruangan yang cukup mewah, dengan ornamen khas yang dilengkapi beberapa kursi di pinggir kanan kiri dan bendera Irak di depan. Memory kami kemudian teringat pada sebuah tempat yang sering digunakan mantan presiden Irak, Saddam Hosen, saat menerima tamu kehormatan di masa kejayaannya.
Selang beberapa waktu menunggu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat kami diinapkan. Kami pun dikawal ketat oleh tentara Irak dengan mobil bak terbuka yang di atasnya ada beberapa tentara dengan senjata berat mengokang siap tembak. Mereka mengiringi mobil kami di depan dan di belakang dengan kecepatan tinggi.
Namun demikian, mobil kami yang dikawal tentara lengkap, toh tetap harus melewati 8 (delapan) check point untuk keluar dari kawasan bandara. Setiap pos keamanan, kami harus berhenti dan dicheck beberapa saat untuk memastikan kami semuanya aman memasuki kawasan steril.
Selepas melewati check point, mata kami pun berkesempatan melihat-lihat langsung kondisi Baghdad terkini. Sekira 15-20 menit, kami sampai di hotel tujuan, Royal Tulip, Al-Rasheed. Hotel yang berada di kawasan Green Zone, wilayah yang dipastikan sangat aman karena berada di lingkungan perkantoran pemerintah Irak dengan status keamanan tingkat tinggi.
Ziarah ke Makam Ulama
Meski kondisi tubuh sangat lelah setelah perjalanan panjang lebih dari 18 jam termasuk transit di Turki, kami tidak bisa langsung istirahat di hotel. Kami diberi waktu beberapa saat oleh Tim KBRI untuk bebersih dan berganti baju untuk selanjutnya melakukan agenda yang lain.
Mengingat agenda yang cukup padat, kami dijadwalkan KBRI agar dapat ziarah ke beberapa makam ulama di kota Baghdad. Sebuah kesempatan emas, tentu saja, karena Baghdad dikenal sebagai tempat lahirnya para nabi, ulama madzhab, auliya, dan cendekiawan muslim terkenal. Ziarah, bagi muslim merupakan rangkaian ritual keagamaan yang sangat penting sebagai bagian dari media pengingat kematian dan pembelajaran akhlak mulia dari ulama yang diziarahi.
Sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat ziarah, kami terlebih dulu dibawa tim pendamping menuju kantor KBRI, tidak jauh dari kawasan Green Zone untuk bertemu dengan Dubes RI, Bambang Antarikso. Meski hanya sejenak, bertegur sapa, dan bersalaman karena kesibukan Dubes, setidaknya kami tahu lokasi KBRI yang sempat tutup selama 8 tahun selama perang teluk II. Kami memaklumi karena agenda seorang Dubes tentu banyak, apalagi sebentar lagi ada event Asian Games yang dilangsungkan di tanah air (Jakarta-Palembang) yang diikuti oleh bangsa-bangsa Asia, termasuk Irak.
Menurut Sang Dubes, lokasi gedung KBRI memang sengaja berada di luar kawasan Green Zone untuk alasan khusus. Jika berada di kawasan yang sangat steril itu, maka aksesnya akan sangat sulit bagi orang-orang yang membutuhkan pelayanan KBRI, seperti warga Indonesia di Irak, khususnya para TKI yang bermasalah. Namun, meski di luar Green Zone, tempat itu masih dekat dengan bandara yang memudahkan urusan jika ada hal-hal darurat, seperti keamanan.
Perjalanan untuk ziarah akhirnya dimulai. Kami bertuju ditemani satu orang staf KBRI menggunakan mini bus travel meluncur dengan dikawal ketat tentara Irak di depan dan di belakang dengan mobil bak terbuka dilengkapi senjata mengokang menuju situs-situs makam penting.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bagi sebagian besar umat Islam Indonesia sudah sangat akrab dengan nama itu. Bahkan namanya menjadi idola sebagian Salik di seluruh dunia. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati di kalangan pengamal tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan jukukan “sulthanul auliya” atau raja para wali Allah.
Area pemakamannya sangat luas, dan tidak semua orang bisa masuk ke area makam bagian dalam karena dijaga petugas khusus. Untuk menuju pintu utama harus melewati check point yang ditunggu aparat keamanan bersenjata. Bangunannya dikelilingi tembok tinggi dan terdapat beton-beton tebal anti peluru demi keamanan seperti lokasi vital lain.
Satu hal yang menarik di dekat pintu masuk gerbang utama ada tulisan belakang Shaikh Abdul Qadir al-Kailani bukan al-Jailani. Sempat bertanya-tanya, sebenarnya yang benar al-Jailani atau al-Kailani? Menurut salah seorang penerima tamu, mungkin seorang tokoh setempat, keduanya sama-sama benar.
Saat ingin memasuki area dalam, terdapat hamparan luas semacam serambi, terdapat payung-payung ala masjid Nabawi, dengan ornamen warna coklat. Begitu sampai di lokasi pasarean (makam) terdapat ruang sekira 4×4 meter untuk para peziarah yang berdoa, berlantai karpet merah, dan teks-teks Arab dalam kaca yang salah satunya berisi info tentang silsilah Shaikh Abdul Qadir al-Kailani hingga nabi Muhammad.
Karena kami adalah tamu resmi negara, kami dibukakan pintu makam bagian dalam, tempat dibaringkannya waliyullah Shaikh Abdul Qadir a-Kailani. Ruangan dengan aroma minyak wangi yang khas, dengan ornamen yang memiliki nilai peradaban tinggi, mengkilap warna putih perak dan biru, di kanan, kiri, dan atas (atap). Tempat pembaringannya berbentuk cungkup melengkung yang ditutup oleh kaca dengan besi-besi stainless yang sangat kokoh. Di sekeliling pusara itu terdapat begitu banyak tumpukan uang kertas dan logam mata uang dinar dan dolar berceceran yang ditaruh oleh para peziarah.
Selepas kami memanjatkan tahlil, doa, dan ta’dzim yang dipimpin oleh KH. Muhyiddin Djunaidi atas kebesaran spitual sang auliya, kami segera meninggalkan tempat setelah sebelumnya berfoto-foto ria. Hanya saja, sama seperti makam ulama beken di tanah air masih ada saja para pengemis di sekitar makam. Mereka mendatangi kami satu persatu dengan menengadahkan tangan sambil bilang: hajji hajji, shadaqah shadaqah, miskin miskin. Hal sama juga ada beberapa uang lembaran dari berbagai mata uang dunia yang ditaruh di kaca makam. Ternyata tidak beda dengan tradisi di tanah air yah?
Thobib Al-Asyhar
(Salah satu delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Islam Wasathiyah di Baghdad, Wakil Ketua Infokom MUI)